Melansir dari Warta Ekonomi, pemerintah mempunyai regulasi yang agaknya terkesan memayungi pelaku/oknum pembajak, yakni melalui surat edaran Menkominfo No.5 pada tahun 2016 mengenai Batasan & Tanggung Jawab Penyedia Platform & Pedagang/Merchant melalui 'Electronic Commerce' yang berwujud 'User Generated Content'.
Jadi, pemerintah secara tidak langsung melindungi/memayungi toko dan produk bajakan, sebab mereka memiliki UU, di mana marketplace atau pasar online tidak dapat disalahkan jikalau memang terdapat produk/buku bajakan yang terjual bebas disana.
Belajar dari pengalaman ketika menjual buku bekas original di marketplace, mengenai pemasaran di pasar online sendiri khususnya produk-produk buku sebenarnya ada copyright selayaknya di media lain seperti portal video sharing youtube, di mana produk-produk yang memiliki hak cipta langsung terdeteksi dan tidak diperkenankan untuk dipasarkan, jikalau sudah meng-klik 'upload', produk tetap tidak terlihat oleh konsumen karena langsung ditempatkan pada bagian arsip.
Ketika hal ini terjadi, biasanya dari sisi pemasar sudah diberi peringatan saat baru mengisi judul atau deskripsi produk, di mana ketika produk tersebut memiliki hak cipta, seketika langsung muncul peringatan berwarna merah memenuhi kolom tersebut yang menjelaskan bahwa 'produk memiliki hak cipta'.
Tetapi dalam kategori buku sendiri, herannya hanya sebagian kecil saja yang terdeteksi (di marketplace) memiliki hak cipta, itupun dari sisi 'judul' saja, dan jikalau pemasar kekeh tetap mau memasarkan biasanya akan mengganti kosa kata judul dengan menyelipkan angka.Â
Hal ini, seakan juga menjadi tamparan tersendiri, bahwasannya sistem memang tidak mampu dan tidak bisa membedakan mana produk asli dan mana produk bajakan.
Apa Solusinya?
Mewarta dari Kompas.id, penulis dan penerbitnya lah yang harus aktif dan gencar melapor kepada (PPNS) Ditjen Kekayaan Intelektual hingga polisi. Sebab, tanpa adanya pengaduan dan laporan yang memberikan bukti-bukti, maka PPNS hingga polisi tidak akan tahu mana saja judul buku yang telah dibajak dan tidak akan bisa untuk membedakan mana buku original / mana buku bajakan.
Meski demikian, pembajakan buku bukan hanya berakar dari sisi penjual/pengedarnya saja, melainkan mereka masih terus hidup berkat pujaan dan antusiasme yang tinggi dari masyarakat.
Stop berdalih 'untuk ilmu pengetahuan', pembajakan bukanlah hal kecil dan membutuhkan dukungan besar. Jika kita senang membaca atau sekedar membutuhkan buku untuk keperluan tertentu, gunakanlah buku original, sangat tidak masalah jika tidak mau membelinya, karena bisa meminjam di perpustakaan ataupun kerabat terdekat. Tetapi, jangan sampai keengganan kita untuk membeli buku original jadi menormalisasi penyebaran buku bajakan.
Semoga ulasan ini bisa bermanfaat dan menambah wawasan kamu dalam mengenal luasnya dunia buku. Salam literasi, salam hangat, sehat-sehat selalu untuk kamu yang sedang membaca artikel ini.
Penulis: Dina Amalia