Hunting buku-buku bekas amat berjaya pada era 80 hingga 90-an. Namun kini, hanya tersisa segelintir penjual offline dan pelanggan yang tetap setia mencari jutaan ilmu di antara buku-buku yang menumpuk.
Geliat bisnis buku offline khususnya bekas dan lawas di era digital terbilang makin sayup. Toko buku besar dan ternama pun satu per satu mulai pamit. Tidak lain tidak bukan, karena persaingan yang makin ketat ditambah dengan era yang semakin maju, di mana kehadiran pasar online rupanya lebih memudahkan dan menguntungkan baik dari sisi penjual ataupun pembeli.
Lantas, kok masih ada yang namanya bisnis buku? Emang laku?
Terbilang sayup bukan berarti tutup. Sebagian penjual buku offline ada yang vakum dan memilih beralih ke pasar online, tetapi ada juga yang melanjutkan usahanya dari dua sisi, yakni secara offline dan online, bahkan ada juga yang baru memulai bisnis ini yakni berasal dari kolektor hingga pemasok.
Era digital memang hampir membuat semua lahan kehidupan jadi memiliki versi 'digital'nya, termasuk buku yang kini tersedia versi elektroniknya alias e-book.
Meski demikian, buku fisik belum mampu tergantikan, daya tariknya begitu melekat, dari mulai lebih berumur panjang, terjaga isinya, tidak ada gangguan iklan dan notifikasi, ramah untuk kesehatan mata, hingga bisa disimpan sepanjang masa baik untuk sekedar koleksi ataupun untuk dibaca berulang kali.
Jangan salah, buku fisik mungkin sekilas sudah terlihat sayup diperedaran, tetapi kenyataanya masih meluncur ria dipasaran.
Tahun ini menjadi tahun ke-5 saya ada di dunia bisnis buku bekas lawas dan original. Kilas balik di masa awal memulainya, belum genap berusia 19 tahun waktu itu, pikiran rasanya belum ajek dan belum paham seluk beluk dunia usaha, terlebih berhadapannya dengan barang bekas yang kalau dipikir-pikir dulu seperti barang kurang layak dan khawatir ngga laku.
Begitu dicoba, rupanya buku lawas sekalipun masih diburu oleh masyarakat, baik kolektor, pencinta buku, atau orang-orang hanya dengan kebutuhan tertentu sekalipun. Terlebih, pasar online sangat membantu dalam memberikan peluang hingga arahan.
Di era digital ini, bisnis buku amat menguntungkan, bukan hanya dari sisi pemasukan, melainkan dari sisi kemudahan, kepraktisan, hingga membuka koneksi yang lebih luas baik dengan sesama penjual ataupun pelanggan.
Bisnis Buku Bekas Laris Manies
Berikut beberapa alasan mengapa bisnis buku bekas di era digital terus hidup dan masih laku, yang coba saya tafsirkan melalui pengalaman ketika terjun ke dunia bisnis buku:
1. Buku fisik belum mampu tergantikan
Memang, buku digital lebih praktis, tetapi kepraktisannya belum mampu menggantikan buku fisik yang bisa lebih berumur panjang, fisiknya juga tidak membuat mata capek.
Bagi sebagian masyarakat, ada yang masih enggan menggunakan buku digital, entah karena merasa kurang puas hingga terganggu dengan notifikasi dan cahaya.
Saya sempat mendengar langsung alasan mengapa buku fisik masih dicintai sekalipun memiliki kondisi bekas dan lawas, yakni diungkap oleh dosen ilmu hukum yang pada saat itu sedang mengajar di kelas, di mana beliau membeberkan bahwa buku fisik itu lebih melekat dengan pembacanya, si pembaca bisa dengan bebas mencoret, menandai, dan membaca berulang kali. Beliau juga mengungkap, bahwa kesenangan memiliki dan membaca buku fisik tidak bisa diungkap dengan kata-kata, "ya memang suka aja".
Sedangkan, dari sisi pelanggan yang sering saya temui, kebanyakan mengungkap kalau buku fisik itu bisa dikoleksi, seperti salah satunya genre komik, yang kalau dikoleksi pasti memiliki seri dan dari seri inilah ada beragam warna, nomor, dan corak cover yang saat dipajang membuat rak terlihat cantik, jadi seperti ada rasa satisfied.
2. Beberapa ranah / lembaga masih mewajibkan penggunaan buku
Beberapa ranah / lembaga masih atau bahkan tidak akan meninggalkan buku fisik, seperti sekolah, universitas, perpustakaan, kantor, dan sebagainya. Terlebih di ranah pendidikan, pasti terdapat perpustakaan di dalamnya.
Sekalipun sudah berdampingan dengan versi digital, buku fisik masih eksis terpajang di rak-rak perpustakaan.
Sering sekali saya bertemu dengan customer yang datang dari perpustakaan dan sekolah-sekolah, sekali membeli bukan main jumlahnya, langsung banyak alias diborong, padahal kondisinya dominan bekas.
Biasanya, mereka membeli buku di kategori yang sama, entah untuk mengisi rak atau kebutuhan ajar, seperti pada saat itu ada yang memesan khusus di kategori buku agama, hingga ada juga yang membeli khusus di kategori buku pelajaran dengan tahun terbit dan dari penerbit tertentu.
Poin inilah, yang membuat bisnis buku juga terus hidup. Tidak mesti memesan dengan jumlah yang banyak, ada juga siswa / mahasiswa / guru / dosen yang suka saya temui bolak-balik membeli buku untuk kebutuhan mata pelajaran di tahun ajar baru, atau kalau dari siswa kadang beli untuk sekedar mengganti buku perpustakaan yang rusak, hingga untuk keperluan lainnya.
3. Menjadi alternatif buku murah
Buku fisik bekas biasa dijadikan sebagai alternatif jikalau buku versi baru originalnya memiliki harga mahal. Buku bekas memang dikenal aman di kantong, khususnya untuk siswa dan mahasiswa.
Buku bekas juga menjadi alternatif jika ada buku-buku tertentu yang sudah tidak naik cetak lagi, biasanya orang-orang akan mencari versi bekasnya sekalipun memiliki kondisi yang sudah lawas atau usang.
Geliat Bisnis Buku Bekas di Pasar Online
Di era digital, pasar online alias marketplace menjadi lapak baru untuk penjual buku. Hanya bermodal potret dan deskripsi, buku bisa berselancar bebas di pasaran, terlebih menyasar berbagai pelosok negeri, siapa pun dan darimana pun bisa dengan mudah membeli.
Ketika memulai bisnis buku bekas melalui online, rasanya praktis. Tetapi begitu dijalani dan dianalisa, geliat bisnis buku bekas di marketplace rupanya terbilang lebih bersaing. Harga, kondisi, wilayah saling berlomba.
Selain itu, tidak lain untuk menarik pelanggan, jika secara offline menarik dengan cara memanggil orang-orang yang lewat depan toko, maka secara online menghadirkan banyak promo, terlebih penjual juga bisa beriklan dan menawarkan langsung melalui live streaming.
Berikut 2 hal besar yang menjadi fase sekaligus keuntungan bisnis buku bekas melalui online marketplace:
1. Menguntungkan secara material dan fisik
Bisnis buku bekas terbilang menguntungkan. Secara material / pendapatan memang fluktuatif, karena sesuai dengan harga yang berasal dari kelangkaan buku, namun hal ini sangat terbantu dengan adanya fitur promo toko dan produk yang menjadi jembatan untuk penjual menarik pelanggan.
Setelah promo, hadir juga live streaming yang menjadi wadah bagi penjual untuk bisa memperlihatkan kondisi buku-buku yang dijualnya secara real, proses tawar-menawar pun terjadi disini.
Kemudian, secara fisik, marketplace telah membuka peluang usaha yang 'nol rupiah' tidak memerlukan sewa lapak. Peluang ini sangat menguntungkan, karena tidak perlu repot-repot lagi memikirkan sewa lapak, memilih lokasi strategis, hingga tagihan-tagihan toko seperti listrik dan air.
Secara fisik, bisnis buku yang dijalankan secara online hanya memerlukan tempat penyimpanan, dan jika baru saja memulainya tidak memerlukan tempat khusus, kecuali yang memang sudah memiliki ruang koleksi atau bahkan yang datang dari penjual offline.
3. Mudah terkoneksi dengan kolektor dan pencinta buku
Dahulu, dimasa-masa hunting buku masih ramai dan digeluti masyarakat memang sangat mudah bertegur sapa dengan kolektor dan pencinta buku secara langsung.
Namun, seiring zaman mulai beralih ke digital, masyarakat pun mulai ikut menyesuaikan diri, termasuk kolektor dan pencinta buku yang saat ini lebih banyak mencari buku-buku melalui online marketplace.
Meski online, penjual buku kerap bertegur sapa dengan kolektor dan pencinta buku hingga jadi langganan.
Koneksi ini, biasanya bermula ketika kolektor dan pencinta buku memulainya dengan melihat koleksi yang disusun penjual melalui etalase toko online dan mencoba untuk membeli 1 buku untuk melihat bagaimana kondisi bukunya, kemudian jika cocok biasanya akan berlanjut untuk bersua melalui chat dengan penjual seperti menanyakan 'koleksi buku apalagi yang masih tersimpan', dan bisa terus berlanjut hingga tidak segan untuk terus membeli buku yang bahkan baru dipasarkan/ditawarkan.
Hal ini, menguntungkan sekali bagi kedua pihak, di mana dari sisi pembeli bisa dengan mudah dan praktis mencari koleksi buku yang sedang diburu, sedangkan dari sisi penjual pun dengan senang hati bisa selalu menawarkan produk baru tanpa ada batasan ruang dan waktu.
Bercuan sih... tapi Kudu Ekstra Melawan Pembajakan!
'Pembajakan' selayaknya kutu yang sulit dibasmi, agaknya menjadi tantangan besar di dunia perbukuan. Terlebih teknologi yang berkembang sudah banyak menyuguhkan peluang baru dan alternatif untuk masyarakat, nahasnya menjadi mimpi buruk juga untuk dunia perbukuan, di mana hal ini dimanfaatkan oleh oknum untuk menyebarluaskan buku bajakan. Bahkan, bukan hanya versi cetak saja, melainkan juga dengan versi digitalnya.
- Pembajakan buku versi cetak
Pembajakan yang satu ini mungkin sudah tidak asing lagi, di mana buku bajakan dibandrol dengan harga murah, kualitasnya sangat jauh berbeda dengan versi originalnya, dari mulai covernya yang blur atau tidak nyata, cetakan hasil fotocopyan yang menghasilkan tulisan blur dan miring, isi buku serba hitam putih bintik-bintik, hingga perekat yang mudah copot.
Nahasnya, pembajakan berselancar bebas di pasar online. Sang oknum sering kali mengelabui pelanggan dengan metode tersembunyi, seperti pemasaran yang tidak mencantumkan 'buku 100% original' alias kosong saja tanpa deskripsi / petunjuk dan ada juga yang dengan pede menyebut buku tersebut 'non-ori', 'buku premium', 'buku repro'. Alhasil, banyak masyarakat yang belum mengetahui hal ini dan berakhir ketipu.
- Pembajakan buku versi digital
Bukan hanya buku cetak, e-book juga memiliki versi originalnya dan hanya bisa dibeli melalui penerbit asli. Original e-book memiliki akses dan keamanan.
Lagi-lagi, e-book pun juga turut dimanfaatkan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab, secara bebas disebarkan melalui media sosial hingga dijual dengan harga sangat murah melalui marketplace.
Soal kualitas, e-book original memiliki kualitas yang sangat berbeda dengan versi bajakan, dari mulai resolusi tinggi hingga beragam fitur. Sedangkan, versi bajakan biasanya hasil dari scan dan resolusinya jauh dengan versi originalnya.
Membaca kedua model pembajakan di atas, agaknya menjadi tantangan besar bagi penjual buku, terlebih jika masyarakat masih terus berminat untuk membeli dan mengincarnya.
Sebagai penjual buku original, ikut merasakan tantangan besar ini, berbagai hal sudah dicoba untuk diterapkan, dari mulai memberi identitas buku yang berkategori 100% original, poster yang mejeng dihalaman toko sebagai penanda khusus toko buku original, hingga promo-promo.
Sayangnya, masyarakat masih banyak yang tergiur dari versi 'harga' dan 'kondisi baru', di mana dua hal ini sangat ditonjolkan oleh oknum pengedar buku bajakan, seperti alih-alih 'buku baru segel', padahal kenyataannya bukan segel resmi dan kebanyakan hanya menggunakan plastik opp. Sehingga, hal ini menjadi tantangan yang ekstra untuk bisa terus melawan pembajakan.
Bagaimana tidak ekstra, pembajakan sudah datang dari dua versi, dan dari sisi hukum sudah ada sanksi bagi pembajak, dilansir dari Kompas Pedia yakni dalam UU No. 28 Tahun 2014 Pasal 117 Ayat (3) tentang Hak Cipta, di mana dalam UU ini terdapat ancaman hukuman dengan maksimal 10 tahun penjara hingga denda sebesar 4 miliar. Tetapi, penegakannya terbilang masih sangat jauh dari kata 'berhasil'.
'Bisnis buku bekas' menjadi salah satu upaya untuk melawan pembajakan, di mana dominan buku bekas datang dari buku-buku original, biasanya para penjual buku bekas selalu melakukan penyortiran sebelum memasarkan, baik dari sisi kondisi/kelayakan hingga versinya apakah benar buku yang akan dijual original.Â
Penjual buku bekas jauh lebih aware akan dunia perbukuan. Ketika mulai menjualnya, kualitas/keorisinilan buku menjadi yang utama dibandingkan penghasilan.
Sebagaimana rasa saling menghargai muncul saat bisa menginjak dunia perbukuan, di mana ada buku disitulah ada penulis dengan karya-karyanya yang luar biasa.
Maka, saat menjual buku-buku sekalipun dalam kondisi bekas, pasti ingin selalu menghargai penulis dan pihak penerbit yang sudah bekerja keras untuk menerbitkan karya yang indah hingga menjadi warisan untuk bangsa.
Setelah pembajakan, apa yang menjadi tantangan dalam bisnis buku bekas dan lawas?
Selain pembajakan, hanya sisa tantangan secara internal, seperti tantangan di kategori buku.
Per kategori buku berbeda-beda tingkat keramaian pembelinya.
Misal buku pelajaran, ramai atau lakunya pada saat periode kenaikan kelas, biasanya memasuki bulan keenam, di mana siswa ataupun orang tua mencari buku pelajaran yang direkomendasikan dari sekolah.
Ada juga di bulan kesembilan, di mana mahasiswa yang memburu buku-buku yang direkomendasikan dosen. Kemudian, contoh lainnya seperti memasuki bulan ramadhan, banyak orang yang memburu buku-buku agama hingga resep untuk membuat hidangan takjil dan berbuka.
Lalu, gimana dengan kategori buku lainnya?
Selalu ada yang memburu! Baik itu itu novel, komik, pengembangan diri, majalah dan kategori lainnya masih banyak yang memburu karena memiliki segmennya tersendiri. Seperti, customer yang sedang mencari majalah traveling, tapi juga membeli komik karena menarik atau memang mengoleksinya.
Jadi, lika-liku tantangan buku juga berasal dari kategori buku, maka terkadang kebanyakan penjual memilih untuk menjual beragam kategori bahkan hampir seluruhnya, karena selain berperiode juga sebagai langkah antisipasi jika ada kategori buku yang kurang diminati.
Semoga ulasan ini bermanfaat yaa dan bisa menambah wawasanmu dalam mengenal dunia bisnis buku bekas. Salam literasi, sehat-sehat selalu untuk kamu yang sedang membaca artikel ini.
Penulis: Dina Amalia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H