Hal ini, menguntungkan sekali bagi kedua pihak, di mana dari sisi pembeli bisa dengan mudah dan praktis mencari koleksi buku yang sedang diburu, sedangkan dari sisi penjual pun dengan senang hati bisa selalu menawarkan produk baru tanpa ada batasan ruang dan waktu.
Bercuan sih... tapi Kudu Ekstra Melawan Pembajakan!
'Pembajakan' selayaknya kutu yang sulit dibasmi, agaknya menjadi tantangan besar di dunia perbukuan. Terlebih teknologi yang berkembang sudah banyak menyuguhkan peluang baru dan alternatif untuk masyarakat, nahasnya menjadi mimpi buruk juga untuk dunia perbukuan, di mana hal ini dimanfaatkan oleh oknum untuk menyebarluaskan buku bajakan. Bahkan, bukan hanya versi cetak saja, melainkan juga dengan versi digitalnya.
- Pembajakan buku versi cetak
Pembajakan yang satu ini mungkin sudah tidak asing lagi, di mana buku bajakan dibandrol dengan harga murah, kualitasnya sangat jauh berbeda dengan versi originalnya, dari mulai covernya yang blur atau tidak nyata, cetakan hasil fotocopyan yang menghasilkan tulisan blur dan miring, isi buku serba hitam putih bintik-bintik, hingga perekat yang mudah copot.
Nahasnya, pembajakan berselancar bebas di pasar online. Sang oknum sering kali mengelabui pelanggan dengan metode tersembunyi, seperti pemasaran yang tidak mencantumkan 'buku 100% original' alias kosong saja tanpa deskripsi / petunjuk dan ada juga yang dengan pede menyebut buku tersebut 'non-ori', 'buku premium', 'buku repro'. Alhasil, banyak masyarakat yang belum mengetahui hal ini dan berakhir ketipu.
- Pembajakan buku versi digital
Bukan hanya buku cetak, e-book juga memiliki versi originalnya dan hanya bisa dibeli melalui penerbit asli. Original e-book memiliki akses dan keamanan.
Lagi-lagi, e-book pun juga turut dimanfaatkan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab, secara bebas disebarkan melalui media sosial hingga dijual dengan harga sangat murah melalui marketplace.
Soal kualitas, e-book original memiliki kualitas yang sangat berbeda dengan versi bajakan, dari mulai resolusi tinggi hingga beragam fitur. Sedangkan, versi bajakan biasanya hasil dari scan dan resolusinya jauh dengan versi originalnya.
Membaca kedua model pembajakan di atas, agaknya menjadi tantangan besar bagi penjual buku, terlebih jika masyarakat masih terus berminat untuk membeli dan mengincarnya.
Sebagai penjual buku original, ikut merasakan tantangan besar ini, berbagai hal sudah dicoba untuk diterapkan, dari mulai memberi identitas buku yang berkategori 100% original, poster yang mejeng dihalaman toko sebagai penanda khusus toko buku original, hingga promo-promo.
Sayangnya, masyarakat masih banyak yang tergiur dari versi 'harga' dan 'kondisi baru', di mana dua hal ini sangat ditonjolkan oleh oknum pengedar buku bajakan, seperti alih-alih 'buku baru segel', padahal kenyataannya bukan segel resmi dan kebanyakan hanya menggunakan plastik opp. Sehingga, hal ini menjadi tantangan yang ekstra untuk bisa terus melawan pembajakan.
Bagaimana tidak ekstra, pembajakan sudah datang dari dua versi, dan dari sisi hukum sudah ada sanksi bagi pembajak, dilansir dari Kompas Pedia yakni dalam UU No. 28 Tahun 2014 Pasal 117 Ayat (3) tentang Hak Cipta, di mana dalam UU ini terdapat ancaman hukuman dengan maksimal 10 tahun penjara hingga denda sebesar 4 miliar. Tetapi, penegakannya terbilang masih sangat jauh dari kata 'berhasil'.
'Bisnis buku bekas' menjadi salah satu upaya untuk melawan pembajakan, di mana dominan buku bekas datang dari buku-buku original, biasanya para penjual buku bekas selalu melakukan penyortiran sebelum memasarkan, baik dari sisi kondisi/kelayakan hingga versinya apakah benar buku yang akan dijual original.Â