Oleh: Dina Rahmawati
Reggio Emilia adalah sebuah model pendidikan anak usia dini yang diciptakan oleh Loris Malaguzzi (1920-1994). Pendekatan ini dikenal luas karena programnya yang berlandaskan pada prinsip konstruktivisme dan telah diimplementasikan dalam berbagai program pendidikan anak-anak di Amerika Serikat. Reggio Emilia percaya bahwa anak-anak belajar melalui interaksi dengan orang lain, termasuk orangtua dan masyarakat. Mereka diajarkan untuk memiliki sikap kompetitif, kreatif, rasa ingin tahu, serta keinginan untuk terlibat dalam interaksi sosial. Sekolah Reggio Emilia menganggap lingkungan sebagai "guru ketiga," di mana peran guru sangat vital dalam merancang ruang kelas dan menciptakan area untuk interaksi anak-anak. Proyek-proyek yang dilakukan di sekolah ini berlandaskan minat anak, dilaksanakan secara mendalam, serta melibatkan berbagai metode penyelidikan dan representasi visual. Model Reggio Emilia menciptakan lingkungan pembelajaran yang kaya akan pengalaman, yang bertujuan untuk mengasah kreativitas baik individu maupun kelompok. Pendekatan ini mendorong anak-anak untuk terlibat dengan ide-ide yang muncul di kelas dan berkontribusi dalam pemecahan masalah, sehingga memperkuat kemampuan mereka untuk berinteraksi dan memahami satu sama lain dalam kelompok. Dalam model pendidikan ini, partisipasi aktif orang tua, anak-anak, guru, lingkungan sekolah, komunitas, serta masyarakat secara keseluruhan menjadi fokus utama. Guru berperan sebagai pengamat dan pendengar yang saksama, mencatat komentar dan kegiatan anak untuk dijadikan bahan diskusi yang konstruktif (Kaynak-Ekici et al., 2021).
Kurikulum Reggio Emilia menekankan pentingnya proyek-proyek yang berasal dari minat dan keinginan anak-anak. Melalui konsep "seratus bahasa," yang mencakup berbagai bentuk ekspresi diri, proyek-proyek ini dieksplorasi dengan mendalam. Dalam pendekatan ini, guru berperan sebagai pengamat dan penafsir, memanfaatkan pengamatan anak untuk memperkaya pemahamannya. Meskipun fokus utama adalah pada proyek, kegiatan prasekolah tradisional tetap diterapkan di kelas Reggio Emilia. Tujuan pembelajaran di sini adalah untuk menyebarluaskan serta menghargai bakat kreatif, kecerdasan, dan hak-hak anak. Metode ini tidak hanya meningkatkan profesionalisme para pengajar, tetapi juga mendorong proses belajar yang aktif, konstruktif, dan kreatif. Reggio Emilia juga menaruh perhatian pada hubungan penting antara anak dan keluarganya. Dalam proses pembelajaran, guru berfungsi sebagai pendengar, fasilitator, peneliti, kolaborator, dokumentator, mediator, dan pembelajar. Dengan menyediakan pengalaman belajar yang bermakna dan melibatkan anak dalam proses edukasi yang mendalam, prinsip-prinsip ini sangat signifikan untuk mengembangkan kecerdasan interpersonal anak (Nuraeni & Sharina, 2020).
Ada banyak teori dan definisi yang berbeda tentang kreativitas dan bagaimana itu berkembang pada anak-anak. Sebuah model sistem yang koheren dan kompleks dianggap kreatif. Interaksi nyata antara anak dengan lingkungan sosialnya (guru, teman sebaya, dan lainnya) dan lingkungan materialnya (tugas yang dikerjakan) adalah dasar dari pengembangan kreatif menurut model teoretis ini. Kreativitas dapat berkembang menjadi produk atau proses kreatif sebagai hasil dari ide-ide baru atau modifikasi yang muncul seiring berjalannya waktu. Pada gilirannya, kreativitas menjadi ciri khas individu. Lingkungan terdekat anak memiliki korelasi kuat dengan sifat ini, serta konteks budaya yang lebih luas. Dalam kerangka teori kreativitas sosiokultural, kreativitas dapat dipahami sebagai suatu proses yang berlangsung seiring waktu, di mana munculnya inovasi dan berbagai tantangan menjadi mekanisme utama yang menghubungkan berbagai tingkatan di mana kreativitas itu terjadi (Gantt, 2021). Menurut Vygotsky, kreativitas adalah proses mediasi budaya yang melibatkan keterlibatan aktif anak-anak dalam menciptakan artefak budaya baru. Ia berpendapat bahwa kreativitas tidak terbatas pada aktivitas yang dianggap penting, seperti penemuan ilmiah atau karya seni, tetapi juga muncul dalam kegiatan sehari-hari anak-anak. Dalam setiap momen tersebut, anak-anak menemukan cara-cara segar untuk memahami dan berinteraksi dengan dunia di sekitar mereka. Vygotsky menekankan bahwa pengalaman budaya yang diperoleh anak-anak menjadi fondasi bagi imajinasi dan kreativitas mereka. Anak-anak dapat mengembangkan kreativitas mereka dengan menginternalisasi dan mengubah alat-alat budaya yang mereka peroleh melalui interaksi dengan orang dewasa dan teman sebaya di lingkungan sosial mereka. Melalui proses ini, anak tidak hanya dapat mereplikasi pengalaman masa lalu, tetapi juga menciptakan sesuatu yang sepenuhnya baru (Yuliana et al., 2024).
Menurut teori Vygotsky, anak-anak bukan hanya penerima pasif tetapi juga peserta aktif dalam proses kreatif. Permainan memberi anak-anak kemampuan untuk membuat situasi imajiner dan belajar untuk membedakan makna objek dan tindakan nyata, yang merupakan dasar kreativitas. Vygotsky menekankan bahwa penting bagi anak-anak untuk memiliki kesempatan untuk mengembangkan kreativitas mereka dan terlibat dalam aktivitas budaya yang signifikan. Ini dapat dicapai dengan berinteraksi dengan teman sebaya yang lebih berpengalaman dan orang dewasa yang mendukung dalam lingkungan sosial yang mendukung. Imaginasi, rasa ingin tahu, dan kemampuan untuk mengeksplorasi ide-ide baru terkait dengan kreativitas anak usia dini. Ini adalah kemampuan untuk melihat dan menangani masalah dengan cara yang inovatif dan segar. Kreativitas anak menunjukkan kemampuan mereka untuk membuat ide-ide yang unik, dan fleksibel untuk berbagai situasi dan aktivitas. Pada anak usia dini, kreativitas anak-anak sangat terlihat ketika mereka bermain, membuat karya seni, melukis, atau membuat ide-ide spontan dengan mainan mereka. Bermain adalah bagian integral dari kehidupan anak-anak, memberi mereka kesempatan untuk bersenang-senang dan berimajinasi. Aktivitas bermain ini bermanfaat bagi anak karena memungkinkan mereka untuk melepaskan emosi negatif, menjelajahi lingkungan, dan merasakan keamanan secara psikologis. (Nuraeni & Sharina, 2020).
Pada dasarnya, setiap individu memiliki potensi kreatif yang unik. Namun, yang patut ditekankan adalah pentingnya pengembangan potensi tersebut. Kreativitas bukanlah bakat bawaan yang tidak bisa diubah, melainkan sebuah keterampilan yang dapat dipelajari dan ditingkatkan. Mengembangkan kreativitas adalah hal yang sangat penting karena memberikan dampak yang signifikan pada berbagai aspek kehidupan seseorang, termasuk dalam menghasilkan ide, memecahkan masalah, dan meningkatkan prestasi akademik. Hal ini terutama krusial bagi anak-anak di usia dini, di mana masa tersebut merupakan periode emas yang menjadi pondasi bagi perkembangan mereka di masa depan. Pada pendekatan Reggio Emilia, anak-anak didorong untuk menjadi pencipta dan penghasil pengetahuan. Mereka diberikan kesempatan untuk mengekspresikan gagasan mereka melalui berbagai cara, serta menemukan solusi unik atas berbagai tantangan yang mereka hadapi. Setiap karya anak dihargai dan dihormati oleh para guru, yang terus memotivasi mereka untuk mencoba dan mengembangkan ide-ide baru. Proyek-proyek yang terinspirasi oleh pendekatan Reggio Emilia telah terbukti memberikan dampak positif terhadap keterampilan berpikir kreatif anak-anak. Filosofi pendidikan dalam pendekatan ini menekankan pentingnya pembelajaran yang berpusat pada anak, di mana minat dan rasa ingin tahu alami mereka menjadi penggerak utama dalam proses belajar (Jafar et al., 2023).
Dalam konteks pengembangan keterampilan berpikir kreatif, proyek-proyek ini memberikan dorongan kepada anak-anak untuk memanfaatkan imajinasi, menjelajahi batasan yang ada, dan mencari solusi inovatif ketika menghadapi tantangan. Ketika anak-anak terlibat dalam proyek yang sesuai dengan minat mereka, motivasi dan semangat mereka untuk berpikir kreatif dalam mengeksplorasi topik tersebut akan semakin meningkat. Salah satu elemen utama dalam Pendekatan Reggio Emilia adalah menjadikan lingkungan belajar sebagai "guru ketiga," yaitu ruang yang kaya akan beragam materi dan sumber daya yang dapat merangsang rasa ingin tahu anak-anak. Dengan desain lingkungan yang dirancang dengan cermat dan penyediaan berbagai bahan, imajinasi anak dapat terangsang untuk berpikir di luar kebiasaan dan menciptakan hal-hal baru. Proyek yang didasarkan pada minat dan rasa ingin tahu alami juga memberikan kesempatan bagi mereka untuk mengekspresikan kreativitas secara bebas, sambil mendukung pengembangan keterampilan berpikir kreatif. Ketika anak-anak diberikan kebebasan untuk mengikuti minat dan rasa ingin tahu mereka, mereka cenderung lebih aktif terlibat dalam proses pembelajaran. Model Reggio Emilia terbukti sangat efektif dalam mendorong kreativitas anak. Melalui pendekatan ini, mereka memiliki kesempatan untuk berpikir kreatif, mengasah keterampilan berpikir kritis, dan mengekspresikan pemahaman mereka melalui berbagai bentuk simbolik. Dalam proses tersebut, peran guru sebagai fasilitator sangat pentin, mereka mendukung eksplorasi anak sekaligus membimbing  untuk mengembangkan potensi kreativitas yang dimiliki (Hasanah et al., 2023).
Pendekatan Reggio Emilia, yang berakar pada prinsip konstruktivisme, menawarkan model pendidikan anak usia dini yang menempatkan anak sebagai pusat pembelajaran. Metode ini mendorong kreativitas, rasa ingin tahu, dan partisipasi aktif anak dalam lingkungan sosial yang mendukung. Anak-anak belajar melalui eksplorasi, interaksi sosial, dan penggunaan berbagai alat ekspresi kreatif yang dikenal sebagai "hundred languages." Lingkungan belajar dirancang sebagai "guru ketiga," dengan ruang dan sumber daya yang menginspirasi anak untuk berinovasi dan berkolaborasi. Guru berperan sebagai fasilitator, pengamat, dan pendamping dalam mendukung pembelajaran anak, sementara proyek-proyek berbasis minat anak memberikan pengalaman belajar yang bermakna serta memperkuat keterampilan berpikir kreatif dan kritis. Pendekatan ini juga sejalan dengan teori kreativitas Vygotsky yang menekankan pentingnya interaksi sosial dan budaya dalam mengembangkan kreativitas anak.
Pendekatan Reggio Emilia sangat relevan untuk diterapkan di Indonesia guna mendukung pengembangan pendidikan anak usia dini. Pada periode emas perkembangan anak, metode ini dapat mengembangkan potensi kreatif mereka, yang sangat penting untuk menghadapi tantangan masa depan. Selain itu, pendekatan ini dapat meningkatkan kualitas pendidikan dengan menyediakan lingkungan belajar yang interaktif, menumbuhkan keterampilan berpikir kritis, dan mendorong anak untuk aktif belajar (Sartika et al., 2023). Konsep "hundred languages" memungkinkan integrasi budaya lokal Indonesia ke dalam proses pembelajaran, sehingga anak-anak dapat memahami dan menghargai warisan budaya mereka. Pendekatan ini juga meningkatkan peran guru sebagai fasilitator dan melibatkan orang tua secara aktif dalam proses pembelajaran, sesuai dengan nilai-nilai budaya komunitas di Indonesia. Melalui pendekatan ini, kurikulum nasional dapat dilengkapi dengan metode pembelajaran yang inovatif dan berpusat pada anak, mendukung tujuan pendidikan nasional yang holistik. Dengan demikian, Indonesia dapat menciptakan generasi anak-anak yang lebih kreatif, adaptif, dan siap menghadapi perubahan global. Implementasi pendekatan Reggio Emilia di Indonesia akan membawa dampak positif bagi pengembangan anak usia dini dan pendidikan secara keseluruhan.
DAFTAR PUSTAKA