Mohon tunggu...
laakmale
laakmale Mohon Tunggu... Freelancer - Akmaluddin Rachim

Magang di Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (PUSHEP)

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Menyelamatkan Sumber Daya Alam, Sorotan atas UU Minerba

18 Juli 2020   00:45 Diperbarui: 18 Juli 2020   00:45 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kewenangan DPD dalam proses pembentukan undang-undang juga telah diperkuat oleh Putusan Mahkamah Kontitusi Nomor 92/PUU-X/2012. Putusan a quo memperkuat ketentuan bahwa RUU yang berasal dari DPR harus menyampaikan surat kepada Presiden dan DPD; DPD menyampaikan pandangan dalam Pengantar Musyawarah Pembukaan Pembicaraan Tingkat I; DPD menyampaikan DIM; DPD ikut membahas pada Pembicaraan Tingkat I dan DPR menyampaikan pendapat mini pada Pengambilan Keputusan Tingkat I berkaitan dengan kewenangan DPD.

Indikasi kuat tidak dilibatkannya DPD dalam proses pembahasan UU Minerba dapat dilihat dari ketiadaan ketentuan Pasal 22D UUD NRI 1945 dalam konsideran mengingat UU Minerba. Kenyataan tersebut membenarkan bahwa sesungguhnya DPD tidak diikutsertakan mulai dari menyampaikan DIM, melakukan pembahasa pada Pembicaraan Tingkat I serta ketiadaan pendapat mini pada Pengambilan Keputusan Tingkat I. Fakta ini sekali lagi menunjukkan arogansi lembaga DPR kepada DPD dalam fungsi legislasi dan dinamika ketatanegaraan Indonesia. 

Keempat, Rapat dan pengambilan keputusan dalam Rapat Kerja Komisi VII dan Rapat Paripurna DPR tidak memenuhi syarat karena dilakukan secara virtual. Rapat dan Pengambilan Keputusan dalam Rapat Kerja Komisi VII dan Rapat Paripurna DPR pengesahan RUU Minerba dilakukan dalam suasana batin melawan Covid-19.  Sehubungan dengan kondisi tersebut, maka pada saat itu "dipaksakanlah" pengesehan RUU Minerba menjadi undang-undang, meskipun dilakukan secara virtual. Pengesahan melalui ruang virtual secara otomatis mengindikasikan bahwa ada sebagian besar anggota DPR tidak hadir secara fisik. UU MD3 menyatakan bahwa rapat DPR dapat mengambil keputusan jika dihadiri oleh lebih dari separuh jumlah anggota rapat yang terdiri atas lebih dari separuh unsur Fraksi. Kehadiran di sini dimaknai sebagai kehadiran fisik yang selanjutnya dibuktikan dengan tanda tangan daftar hadir. Rapat virtual hanya dapat dilaksanakan apabila tidak mengambil keputusan dan belum diatur dalam tata tertib DPR.

Berbagai fakta hukum di atas menunjukkan bahwa pembahasan dan pengesahan RUU Minerba menjadi undang-undang menyisahkan problem hukum. UU Minerba memiliki problem etik dan problem yuridis sejak dari awal pembentukannya. Oleh sebab itu, sangat wajar apabila sejumlah kalangan menyoal UU Minerba di MK karena dipandang kehadirannya tanpa moralitas hukum yang benar dan patut dalam dimensi hukum dan politik.

Keempat hal tersebut pada prinsipnya bertentangan dengan ketentuan Pasal 33 UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Pembahasan yang dilakukan secara kilat dan dilakukan secara tertutup mengindikasikan ada sesuatu yang disembunyikan. 

Secara logika, sangat tidak mungkin bila DIM setebal 938 halaman pembahasannya dilakukan dengan jangka waktu hanya dua minggu atau relatif hanya kurang lebih sepuluh hari. 

Publik dapat berasumsi bahwa  hal demikian memungkinkan terjadinya korupsi politik dalam pembentukan hingga pengundangan RUU menjadi UU Minerba. Asumsi tersebut dapat dibenarkan jika merujuk kepada hasil kajian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sejak tahun 2009-2018, yang menyatakan bahwa sektor sumber daya alam menyimpan potensi korupsi yang sungguh luar biasa.

Selanjutnya ketiadaan partisipasi publik sudah pasti bertentangan dengan konstitusi yang menyatakan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Ketiadaan pelibatan kelompok masyarakat dan DPD saat pembahasan mereduksi mekanisme check and balances dalam sistem ketatanegaraan. Ketiadaan tersebut menunjukkan kekuasaan DPR dan Pemerintah sangat dominan dalam pembentukan undang-undang. Power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely. 

Harapan terakhir di Mahkamah Konstitusi (MK)

Mencermati argumentasi di atas, sudah sangat wajar bila gugatan tersebut patut mendapatkan dukungan publik yang seluas-luasnya karena menyangkut hajat hidup orang banyak. 

Secara objektif, uraian di atas menunjukkan ada indikasi kuat dan terencana DPR mengesahkan RUU Minerba menjadi sebuah undang-undang dilakukan di tengah situasi pandemik Covid-19. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun