Mohon tunggu...
laakmale
laakmale Mohon Tunggu... Freelancer - Akmaluddin Rachim

Magang di Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (PUSHEP)

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Problem Etis dan Yuridis UU Minerba

19 Juni 2020   23:42 Diperbarui: 19 Juni 2020   23:30 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) terbit dengan sejumlah cacat hukum yakni pelanggaran terhadap proses pembentukan undang-undang. Terdapat sejumlah pelanggaran yang ditabrak dan dinegasikan oleh DPR bersama pemerintah dalam pembentukan undang-undang tersebut.

DPR bersama pemerintah secara nyata melanggar Pasal 5 huruf g UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan terkait dengan asas keterbukaan. Ketentuan tersebut mengatur bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Itu artinya kelompok masyarakat mempunyai kesempatan untuk mengakses dan memberikan masukan kepada pembentuk undang-undang.

Pelanggaran selanjutnya terhadap pembentukan RUU Minerba ialah pembahasan yang dilakukan secara tertutup. Konon, pembahasan juga dilakukan di luar gedung DPR. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD dan Tata Tertib DPR telah mengatur bahwasanya pembahasan suatu undang-undang bersifat terbuka. Itu artinya pembahasan dapat diakses oleh publik. Adapun sifatnya tertutup jikalau menyangkut rahasia negara atau kesusilaan.

Pembahasan yang dilakukan secara tertutup berimplikasi pada ketiadaan partisipasi publik dan stakeholder terkait. Kenyataan tersebut juga menghilangkan kesempatan kelompok masyarakat untuk memberikan aspirasi. Pada kenyataannya, proses yang tertutup itu berakibat pada tidak adanya keterlibatan pakar, tidak dilaksanakannya rapat dengar pendapat umum, serta tidak ada pengambilan aspirasi ke daerah. Bahkan beberapa kelompok masyarakat dan institusi perguruan tinggi yang mengajukan permohonan audiensi diabaikan.

Dari proses yang tertutup itu dapat diasumsikan bahwa tidak terjadi uji publik terhadap materi RUU Minerba. Seharusnya sebelum naskah hasil pembahasan RUU Minerba diputuskan, dilakukan uji publik dan diseminasi dengan melibatkan seluruh stakeholder terkait dan perguruan tinggi. Urgensi keterlibatan publik dan stakeholder merupakan hal yang mendasar mengingat pengelolaan sumber daya alam ini merupakan hal yang penting bagi negara karena menguasai hajat hidup orang banyak.

RUU Minerba pada prinsipnya tidak memenuhi unsur sebagai RUU yang dapat diteruskan pembahasannya atau sering disebut sebagai mekanisme carry over dalam pembentukan undang-undang. Berdasarkan Pasal 71A Undang -- Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang  Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, RUU yang masuk dalam kategori carry over harus memenuhi syarat, diantaranya telah dilakukan pembahasan DIM.

RUU Minerba merupakan RUU inisiatif DPR periode 2014-2019. Dalam perkembangannya, sampai pada masa jabatan DPR periode tersebut berakhir, belum sekali pun dilakukan pembahasan terhadap Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU Minerba.[2] Bahkan belum satu ketentuan pun dalam DIM yang dikaji atau dibahas. Kendati demikian, DPR tetap saja mengklaim bahwa hal tersebut telah dilalui.

Pelanggaran berikutnya ialah pembahasan RUU Minerba yang dilakukan tanpa keterlibatan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Kenyataan tersebut merupakan pelanggaran nyata terhadap konstitusi dan ketentuan undang-undang. Tentu hal tersebut merupakan preseden buruk bagi perkembangan ketatanegaraan kita yang seringkali dilakukan oleh DPR. Berdasarkan Pasal 22D UUD Negara RI Tahun 1945 dan Pasal 249 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, sejatinya DPD mempunyai kewenangan membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan hubungan pusat dan daerah serta pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya. Kewenangan DPD dalam proses pembentukan undang-undang telah diperkuat oleh Putusan Mahkamah Kontitusi Nomor 92/PUU-X/2012, meskipun implikasi dari putusan a quo adalah DPD tidak sampai pada tahap porsi pengambilan keputusan[3]. Sayangnya, DPD sama sekali tak dilibatkan oleh DPR dalam proses pembahasan tersebut. Di sini terlihat sikap ego sentris DPR dalam pembentukan undang-undang.

 

Menguji ke MK

Setelah RUU Minerba disahkan menjadi undang-undang dan kini telah diundangkan dengan penomoran Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, maka upaya selanjutnya yang dapat dilakukan ialah dengan menguji konstitusionalitas UU Minerba. Berbagai problem telah diuraikan di atas dan ditemukan sejumlah catatan kritis terhadap hal itu. Secara nyata dan gamblang terjadi pelanggaran, baik etis maupun yuridis dalam proses pembentukannya. Bila demikian, maka dapat diasumsikan bahwa undang-undang a quo terlahir dalam kondisi prematur dan inkonstitusional.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun