JATIGEDE DAN FIBONACCI
Situs Cipaku di Jatigede tidak boleh dipindah karena itu adalah sebuah konsep besar tentang kewilayahan, ruang dan waktu. Bahkan letak posisi Situs Cipaku merupakan "Golden Ratio" Fibonacci setidaknya bagi 2 pangauban besar yaitu Cimanuk dan Citarum, termasuk 2 kerajaan besar masa lalu yaitu Sunda dan Galuh.
Arah spiral Fibonacci Situs Cipaku juga setidaknya melingkupi 3 gunung berapi aktif dan 2 situs kasundaan penting lainnya yaitu Situs Batutulis Kawali Ciamis dan Situs Megalitikum Gunung Padang Cianjur. Fenomena Fibonacci ini mirip dengan yang terjadi di Piramida Giza.
(Sumber : FB Save Jatigede)
SEJAHTERAKAN WARGANYA
Sejah dimulai di rintis di zaman ORDE LAMA, ORDE BARU hingga ORDE REFORMASI proyek waduk Jatigede telah menyedot perhatian publik baik di daerah asalnya yakni Sumedang maupun dalam lingkup wilayah Jawa Barat bahkan Nasional serta Internasional. Hingga akhirnya waduk dapat dikerjakan di zaman presiden SBY lalu diselesaikan di zaman presiden JOKOWI.
Sebagai orang yang menjadi salah satu warga asal daerahnya yang terkena dampak pembangunan waduk atau OTD, penulis selalu memberikan perhatian atas dampak yang ditimbulkan maupun polemik yang ada di sekitar waduk, baik terkait dampak lingkungan, sosial kemasyarakatan maupun ekonomi dan politik. Telah menimbulkan pro dan kontra di masyarakat terutama media sosial.
Meskipun yang pro saya melihat jumlahnya cukup besar dan kontra kecil, tetapi karena ditunjang dengan sosial media yang ada serta ditambah dengan argumen yang disampaikannya cukup memberikan arti maka penulis menilai perlu ada jembatan antara yang pro dan kontra sehingga solusi jalan tengahnya bisa adil dan menentramkan (seperti motto salah satu bank syariah saja "lebih adil dan menetramkan").
ALASAN BAGI WARGA YANG MENOLAK
Saya mengamati alasan mereka yang menolak rata-rata berasal dari komunitas LSM seperti Komunitas Keuyeup Bodas atau Komunitas Intelektual Jatigede dengan hastagenya yang disosialisasikan yakni #SaveJatigede. Kertika penulis mencoba turun ke masyarakat tempat penulis tinggal waktu masih kecil (Cikuya dan Ciduging) serta daerah desa tetangga (Cibogo dan Cipaku) rata-rata warga yang ditemui tidak mempermasalahkan atau tidak ada masalah dengan proyek waduk tersebut, yang penting mereka bisa hidup sejahtera.
Sedikit bahkan boleh dikatakan tidak ada yang mengungkapkan penolakan dengan alasan yang mereka rasakan dan ungkapkan sendiri. Alasan penolakan yang penulis ketahui datang dari para pegiat LSM dan lingkungan seperti penulis sebutkan di atas, alasan penolakan rata-rata tidak terkait langsung dengan kepentingan kehidupan warga, atau penduknya. Tetapi lebih kepada kepentingan umum dan pemerintah itu sendiri, yang seharusnya itu sudah merupakan kapasitas wakil rakyat dan pemerintah yang lebih konsen untuk menanganinya. Misalnya masalah situs atau cagar alam atau cagar budaya yang ada di daerah genangan sekitar waduk dan area waduk.