"Tidak penting apapun agamamu atau sukumu, kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu."
- Gus Dur
Indonesia adalah negara yang penuh keberagaman, yang menjadi rumah bagi ratusan budaya, tradisi, dan bahasa. Lebih utama lagi, Indonesia menjadi tempat berkumpulnya seluruh agama di muka bumi yang  kemudian memusat dan berjalan seiringan. Patut menjadi sebuah kebanggaan ketika negara yang penuh perbedaan dapat dengan harmonis menjalani kesehariannya, berdampingan satu sama lain. Namun, yang kerap terjadi adalah sebaliknya: diskriminasi, rasisme, dan ujaran kebencian antar umat beragama.Â
Memang tak mudah untuk menyatukan semua keragaman itu karena terkadang kelompok-kelompok tertentu memiliki visi misi yang tak searah dengan yang lain, dan bersikeras demi visi tersebut dapat terwujud. Hal ini menciptakan pertentangan di tengah masyarakat yang tentu perlu menjadi perhatian.Â
Kolese Kanisius membuka mata dan telinga akan permasalahan tersebut yang seringkali dijumpai di zaman sekarang. Kegiatan ekskursi yang diikuti oleh siswa kelas 12 adalah perwujudan nyata dari keprihatinan Kanisius terkait dengan masalah ini.Â
Ekskursi Kolese KanisiusÂ
Ekskursi adalah kegiatan tahunan yang diselenggarakan oleh Kolese Kanisius yang mengangkat tema keberagaman dan toleransi antar umat beragama. Dalam serangkaian kegiatan ini, para siswa kelas 12 diantar ke beberapa titik lokasi pondok pesantren untuk menjalani live in dan dinamika di sana. Sebuah kegiatan yang sungguh unik dan jarang dijumpai di sekolah-sekolah lain serta sebagai bukti nyata bahwa kami turut peduli dalam mengembangkan kebersamaan.Â
Sebagai sekolah katolik, Kolese Kanisius selalu berupaya dalam menjalin relasi yang baik tak hanya intra-agama, tetapi juga inter-agama. Saya sungguh bersyukur dapat menjadi bagian dari keluarga besar ini, terlebih lagi saya bersyukur mendapat kesempatan untuk mengikuti dan mengalami langsung oportunitas yang tak datang dua kali ini.Â
Pondok Pesantren Al-Falah Pandeglang
Menjalani langsung kegiatan semacam ini menjadi yang pertama bagi saya pribadi sehingga antusiasme dan keingintahuan saya cukup tinggi. Hanya satu hal yang menjadi kekhawatiran saya, perihal diterima atau tidak dalam lingkungan yang jauh berbeda dengan yang saya hidupi selama ini. Perjalanan dimulai dan memakan waktu sekitar tiga jam hingga sampai di lokasi pondok pesantren yang akan menjadi tempat tinggal saya selama beberapa hari. Tibalah di Pondok Pesantren Al-Falah Pandeglang, Banten.
Sampai di pintu gerbang, sudah terlihat barisan siswa-siswi yang menanti kedatangan kami. Di situlah segala kekhawatiran lepas, melihat sambutan yang begitu hangat dari pihak pesantren.Â
Kami dikumpulkan dalam sebuah aula untuk mengikuti rangkaian kegiatan pembukaan dan sambutan dari para ustaz dan pengasuh pesantren. Perkenalan sejarah dari ponpes tersebut, aliran-alirannya, fasilitas, dan rutinitas sehari-hari yang dijalani disampaikan oleh Bapak Haji Ahmad Halwani, pengasuh dari Pondok Pesantren Al-Falah. Semua itu semakin meninggikan ekspektasi dan harapan saya dari kegiatan ini.Â
Tanpa maksud buruk apapun, kesan pertama saya melihat kondisi pesantren tersebut adalah unsur kesederhanaan dan apa adanya. Jelas mereka tak punya akses terhadap fasilitas seperti di kota Jakarta, tetapi keterbatasan tersebut tidak menjadi penghambat bagi mereka untuk berkegiatan dan menjalani keseharian. Mereka mampu mensyukuri semua yang tersedia dan memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya.Â
Hal itu membuat saya memikirkan diri saya yang meski tercukupi, kadang masih saja menemukan kekurangan.Â
Pengalaman Live In
Memasuki inti dari kegiatan ini, untuk menjalin relasi dengan teman-teman yang memiliki kepercayaan lain, dalam konteks ini yang beragama muslim. Kami dibagi dalam kelompok-kelompok kecil untuk menentukan kamar yang akan menjadi tempat kami beristirahat selama tiga hari ke depan.Â
Di situlah, saya pertama kali bertemu dengan para santri Al-Falah. Saya berkenalan dengan mereka yang mayoritas duduk di bangku kelas 3 SMP dan yang paling saya ingat adalah si kembar, Sangti dan Sakti.Â
Kamar-kamar yang mereka tempati juga tampak sangat sederhana. Langit-langit yang sudah berlubang dan keropos serta tembok-tembok yang penuh coretan di tiap sudut dari angkatan-angkatan terdahulu. Pintu lemari yang berderit dan haus akan pelumas, dengan tempat tidur yang hanya beralaskan matras bukat. Kaca jendela yang sudah pecah dan pintu kamar yang tidak dapat tertutup rapat menjadi jalur hembusan angin yang melawan suasana pengap di dalam.Â
Waktu luang yang cukup panjang saya manfaatkan untuk mengobrol dan bertukar pikiran dengan para santri dan yang sungguh berkesan adalah keingintahuan mereka yang sangat tinggi terhadap ajaran-ajaran, sejarah, dan peringatan-peringatan dalam agama Katolik.Â
Meski di sana saya adalah minoritas, tak sekalipun mereka menunjukkan diskriminasi atau sikap superioritas. Bukti bahwa mereka sungguh dididik dengan baik dan saleh sebagai santriwan dan santriwati di Al-Falah.
Saya berkesempatan mengikuti langsung kegiatan mengaji dan salat serta menjalani keseharian layaknya seorang santri. Saya dapat terlibat langsung dalam kegiatan pembelajaran di sekolah, mendampingi para guru dalam mengajar materi, seperti Bahasa Inggris dan Marketing. Saya turut menghargai bapak/ibu guru yang terus berusaha dan selalu bersabar menghadapi segala keterbatasan yang ada serta siswa-siswi yang memiliki minat belajar dan cita-cita tinggi.Â
Makna Toleransi
Lewat dinamika-dinamika tersebut, saya memperoleh insight dan pengetahuan baru yang tak ternilai terkait dengan agama muslim dan segala ajarannya. Merasakan suka duka yang sama, canda tawa yang menghibur, kekayaan agama yang melimpah, dan kebersamaan yang tiada dua. Perbedaan yang nampak jelas tidak menjadi tembok penghalang relasi dan kolaborasi kami. Itulah makna toleransi yang sesungguhnya ingin dan harus dibangun dalam masyarakat.Â
Toleransi berarti sikap saling menghargai, melalui pengertian dengan tujuan kedamaian, toleransi adalah metode menuju kedamaian tersebut (Tilman, 2004:95). Dalam beragama, toleransi bukan berarti mengikuti ajaran dan rutinitas agama lain, melainkan memberikan kesempatan bagi penganut agama lain untuk menjalani agamanya sesuai keyakinan. Â
Pengalaman tiga hari tersebut adalah gambaran sekilas ketika masyarakat Indonesia mampu menjalin keharmonisan satu sama lain. Sebuah komunitas yang teratur, terpadu, dan saling membantu. Sebuah wadah yang menempatkan semua dalam derajat yang sama, tak lebih tinggi, tak lebih rendah. Barulah pada titik tersebut, Indonesia sungguh dapat maju dan berkembang sebagai bangsa yang adil dan makmur menuju harmonisme yang tak tergoyahkan.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H