Tanpa maksud buruk apapun, kesan pertama saya melihat kondisi pesantren tersebut adalah unsur kesederhanaan dan apa adanya. Jelas mereka tak punya akses terhadap fasilitas seperti di kota Jakarta, tetapi keterbatasan tersebut tidak menjadi penghambat bagi mereka untuk berkegiatan dan menjalani keseharian. Mereka mampu mensyukuri semua yang tersedia dan memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya.Â
Hal itu membuat saya memikirkan diri saya yang meski tercukupi, kadang masih saja menemukan kekurangan.Â
Pengalaman Live In
Memasuki inti dari kegiatan ini, untuk menjalin relasi dengan teman-teman yang memiliki kepercayaan lain, dalam konteks ini yang beragama muslim. Kami dibagi dalam kelompok-kelompok kecil untuk menentukan kamar yang akan menjadi tempat kami beristirahat selama tiga hari ke depan.Â
Di situlah, saya pertama kali bertemu dengan para santri Al-Falah. Saya berkenalan dengan mereka yang mayoritas duduk di bangku kelas 3 SMP dan yang paling saya ingat adalah si kembar, Sangti dan Sakti.Â
Kamar-kamar yang mereka tempati juga tampak sangat sederhana. Langit-langit yang sudah berlubang dan keropos serta tembok-tembok yang penuh coretan di tiap sudut dari angkatan-angkatan terdahulu. Pintu lemari yang berderit dan haus akan pelumas, dengan tempat tidur yang hanya beralaskan matras bukat. Kaca jendela yang sudah pecah dan pintu kamar yang tidak dapat tertutup rapat menjadi jalur hembusan angin yang melawan suasana pengap di dalam.Â
Waktu luang yang cukup panjang saya manfaatkan untuk mengobrol dan bertukar pikiran dengan para santri dan yang sungguh berkesan adalah keingintahuan mereka yang sangat tinggi terhadap ajaran-ajaran, sejarah, dan peringatan-peringatan dalam agama Katolik.Â
Meski di sana saya adalah minoritas, tak sekalipun mereka menunjukkan diskriminasi atau sikap superioritas. Bukti bahwa mereka sungguh dididik dengan baik dan saleh sebagai santriwan dan santriwati di Al-Falah.
Saya berkesempatan mengikuti langsung kegiatan mengaji dan salat serta menjalani keseharian layaknya seorang santri. Saya dapat terlibat langsung dalam kegiatan pembelajaran di sekolah, mendampingi para guru dalam mengajar materi, seperti Bahasa Inggris dan Marketing. Saya turut menghargai bapak/ibu guru yang terus berusaha dan selalu bersabar menghadapi segala keterbatasan yang ada serta siswa-siswi yang memiliki minat belajar dan cita-cita tinggi.Â
Makna Toleransi
Lewat dinamika-dinamika tersebut, saya memperoleh insight dan pengetahuan baru yang tak ternilai terkait dengan agama muslim dan segala ajarannya. Merasakan suka duka yang sama, canda tawa yang menghibur, kekayaan agama yang melimpah, dan kebersamaan yang tiada dua. Perbedaan yang nampak jelas tidak menjadi tembok penghalang relasi dan kolaborasi kami. Itulah makna toleransi yang sesungguhnya ingin dan harus dibangun dalam masyarakat.Â
Toleransi berarti sikap saling menghargai, melalui pengertian dengan tujuan kedamaian, toleransi adalah metode menuju kedamaian tersebut (Tilman, 2004:95). Dalam beragama, toleransi bukan berarti mengikuti ajaran dan rutinitas agama lain, melainkan memberikan kesempatan bagi penganut agama lain untuk menjalani agamanya sesuai keyakinan. Â
Pengalaman tiga hari tersebut adalah gambaran sekilas ketika masyarakat Indonesia mampu menjalin keharmonisan satu sama lain. Sebuah komunitas yang teratur, terpadu, dan saling membantu. Sebuah wadah yang menempatkan semua dalam derajat yang sama, tak lebih tinggi, tak lebih rendah. Barulah pada titik tersebut, Indonesia sungguh dapat maju dan berkembang sebagai bangsa yang adil dan makmur menuju harmonisme yang tak tergoyahkan.Â