Puasa Tapi Kog Tidak Menang?
"Kamu kog makan depan aku sih. Aku ini sedang puasa," celetuk seorang kawan penulis.
Merupakan sebuah berkat.
Sekolah penulis adalah sekolah dengan anggota yang sangat heterogen. Fitur lingkungan yang seperti ini membuat penulis banyak belajar. Rekan-rekan datang dari background yang berbeda-beda. Maksudnya bukan pendidikan formal dimana orang tua adalah S1 atau S lima, tetapi lebih ke pendidikan keluarga dan nilai-nilai yang ditekankan di rumah.
Karena ragamnya, kejadian sehari-hari menginspirasi penulis, dan itu semua selalu memperkaya dia.
Di bulan Ramadan ini penulis mendapatkan kesempatan dari semesta untuk belajar makna berpuasa.
Berpuasa sejatinya ada di hampir semua agama.
Di dalam Catholicism ada yang disebut berpantang. Di masa-masa paskah umat berpuasa untuk merasakan saat-saat di mana Tuhan sedang bersedih dan susah. Dengan berpantang dari makanan yang disuka, umat turut merasakan perjuangan Tuhan di kala itu; refraining from indulging oneself.
Di dalam Buddhism ada juga tata cara berpuasa dimana umat menjalani kehidupan sederhana seperti pertapa. Tidak makan selepas tengah hari, tidak mendengarkan musik, menonton tayangan hiburan, bernyanyi dan sebagainya. Menjalani kehidupan non-duniawi seperti para bikhu
Di muslim, kurang lebih sama. Tidak makan minum ditambah bersabar menahan diri untuk tidak melakukan hal-hal yang menyebabkan batalnya puasa.
Pada intinya, penulis melihat sebuah persamaan misi dalam berpuasa di semua ajaran-ajaran di atas, yaitu pentingnya pengendalian diri atau self-denial. Â Ini adalah sebuah 'latihan' untuk mengendalikan mental kita.
Yang pertama menjadi penggoda adalah raga yang lapar dan haus. Raga menderita akan meronta-ronta mempengaruhi jiwa yang berpuasa. Alhasil, pelatihan ini akan menjadi lebih efektif dan berasa karena kondisi yang direkayasa.
Bagaimana aku menanggapi rasa lapar dan haus ini.
Keinginan untuk melahap nasi padang yang berminyak ini.
Atau jus jambu yang pink sejuk beraroma?
*****
Hai, sang jiwa, kau akan kulatih!
Seperti belajar mengendalikan mobil, rekan-rekan yang berpuasa seperti sedang steering the course of their path despite obstacles standing on their way.
Pelatihan inilah inti berpuasa.
Maka, apa jadinya kalau teman-teman yang berpuasa meminta hak istimewa?
Semuanya diminta untuk menyesuaikan. Tidak boleh makan dan minum di depan kita. Tidak boleh membuat kita marah atau kecewa, dan tidak boleh ini dan itu.
Lah, kalau begini, jadinya siapa yang berpuasa?
Apabila lingkungan dia paksa berubah, dan tidak boleh protes.
Rekan-rekan yang tidak berpuasa harus menahan diri untuk tidak makan di depan kita.
Yang terjadi adalah malah tidak jadi berpuasa karena tidak ada objek latihan.
Analoginya, mau berlatih berkendara, tetapi tidak ada mobil lainnya di jalan raya.
Di sini, yang sedang berpuasa dan menahan dirinya justru rekan-rekan penulis yang sedang tidak berpuasa. Nah, puyeng jadinya kan yang nda puasa malah berpuasa, tapi yang puasa malah menjadi seenaknya.
Bagi penulis, hal-hal seperti ini justru melahirkan arogansi.
Ini adalah berpuasa yang semena-mena.
Di akhir cerita, apakah bisa sebuah kemenangan diraih apabila faktanya semuanya dipaksa mengalah?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H