Mohon tunggu...
DiMei
DiMei Mohon Tunggu... Lainnya - Seorang murid di sekolah kehidupan

Seorang manusia dan murid yang biasa-biasa saja. Ingin berbagi cerita kepada semua yang mau sama-sama belajar tentang apa saja. Berharap tulisan saya dapat menjadi sebuah titik kecil di dunia yang kadangkala terlalu sibuk untuk sekadar berhenti sejenak.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menjinakkan Rasa Takut: Berani atau Nekat?

30 Oktober 2023   00:37 Diperbarui: 30 Oktober 2023   00:43 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Artikel ini ditulis berdasarkan pengalaman pribadi penulis ketika mengunjungi sebuah klinik perawatan gigi.
Suasana klinik, seperti normalnya, tidak terlalu ramai; hanya ada seorang pasien yang sedang menunggu giliran perawatan.
Penulis akan segera dirawat setelah giliran satu pasien yang dari tadi nampak gusar ini. Entah apa yang ada di dalam pikiran wanita berusia sekitar 30 tahun itu. Masa dia juga takut dirawat, sih? Penulis pun sebenarnya penasaran.

Dari dalam ruang perawatan beberapa kali terdengar suara 'klik' dari switches alat-alat.
Yang paling sering, selain suara penyedot liur dan udara, pasti adalah suara bur gigi.
Suara-suara ini tidak terlalu keras, tetapi cukup untuk mengintimidasi pasien-pasien yang sedang menunggu di luar.
Tidak terdengar percakapan dari ruang perawatan, namun riuh redam bermacam-macam mesin yang digunakan, membuat pikiran penulis berasumsi tentang bagaimana rasanya berada di dalam sana: menderita, ngilu, namun tak berdaya. Kira-kira seperti itu lah.

Ini adalah kata kuncinya:
Asumsi dan kira-kira

Di banyak masa, pikiran mengajak kita berkelana ke suatu tempat yang tidak nyata: dunia khayalan.

Dan salah satu perasaaan yang cukup kuat untuk menarik kita ke dunia khayalan ini adalah: Rasa Takut.

Ketika penulis menyelami pikirannya, penulis kagum.
Wah, ternyata Si Takut ini banyak bicara juga.
Di samping kuat, dia adalah emosi yang sangat berisik.
Dia membisikkan ke batin penulis banyak asumsi-asumsi gelap.
Uniknya, Si Takut ini lihai mengaitkan fakta dengan asumsi dia; seolah-olah yang dia katakan semuanya adalah kebenaran.

Penulis terus mengamati kata-kata yang diucapkan Si Takut.
Hanya mendengar dan mengamati. Tidak membenarkan.
Pun, tidak menyanggah bisikan-bisikan racunnya.

Hasil pengamatan:
Ada 3 jurus jitu yang terus diulang-ulang olehnya, yaitu:
1.Dia membawa kembali trauma masa lalu penulis.
2.Dia mengaitkan fakta dengan bumbu-bumbu asumsi dia.
3.Dia mengajak pikiran penulis berkelana ke masa depan yang dia asumsikan akan penuh dengan penderitaan.

Setelah mengamati dan mendengar kata-kata yang diutarakan Si Takut, penulis mencoba berdialog dengannya.

"Terima kasih, telah hadir dan menjaga saya.
Baik, saya akan duduk tenang dan mendengarkan keluh kesahmu.
Sampaikan segala uneg-unegmu.
Benar, rasa sakit dan ngilu pasti akan ada ketika saya berada di ruang perawatan itu.
Kamu hadir untuk mempersiapkan mental saya.
Namun tolong, JANGAN DRAMA!
Kamu yang tidak terkendali lebih membebani dari apa yang akan sebenarnya saya lalui.
Jadi, cukup. Diam!"

Fear feeds us with dark assumptions.
And dark assumptions are a golden ticket to mental issues.

Rasa sakit, bahaya, ancaman dan masa depan yang tak terduga itu nyata.
Namun untuk takut pada mereka, itu murni pilihan kita.

Apabila setelah mengevalusi segala kemungkinan dengan pikiran jernih, persentase keberhasilan adalah di atas 50% dan kita mengambil kesempatan itu.
Ini lah keberanian.
Berani mengambil risiko.

Namun, apabila hasil evaluasi mengatakan bahwa kemungkinan untuk sukses adalah di bawah 50% dan kita tetap melanjutkannya, ini yang namanya nekat.
Terjun bebas dari lantai 5 gedung bertingkat misalnya. Kemungkinan untuk hidup adalah 0%.
Jika tetap melanjutkannya, maka bukan berani, namanya, tapi nekat untuk mati konyol.

Berani dan nekat.

Pembedanya adalah apakah kita bergerak berdasarkan 'data'?
__
Di satu waktu, singkat cerita, penulis pun takut kehilangan seseorang yang sangat dia sayangi.
Lagi-lagi Si Takut mengulang-ulang 3 jurus jitunya: trauma, 'fakta' dan ajakan berkelana.

Apabila kita ikut di dalam permainannya, rekan-rekan pembaca dapat membayangkan bagaimana Si Takut menyiram kepala kita dengan seember derita.
Orang yang disayang masih di depan mata, tetapi kita tidak bisa menikmati moments dengannya.
Tenggelam di dalam ketakutan akan kehilangan, justru kita tidak dapat menikmati kebersamaan yang masih tersisa.
Padahal kita sangat tidak ingin merusak masa kini yang sangat berharga dengan 'apabila'.

Maka penting untuk menjinakkan rasa takut dengan memfokuskan pikiran kita di masa 'kini'.
Hal ini akan membuat Si Takut sedikit yakin untuk menutup mulutnya sejenak.
Si Takut ini tidak jahat, tapi lebay akut saja sebenarnya. Childish.

Katakan padanya:
"Kamu benar. Rasa sakit dan perpisahan itu akan terjadi.
Tapi itu kan masih nanti!
Yang lebih tidak tertahankan adalah kamu yang lebay ini!
Maka, mulai saat ini, saya memutuskan untuk berani!"

Maka, masuklah penulis di ruang perawatan yang dingin itu.
Membuka pintu kaca yang berat itu, siap jasmani-rohani, lahir dan batin
Untuk merasakan penderitaan.


"Halo, Didi, ya? Sendiri saja? Wah hebat, kamu berani sekali!" sapa Bu Dokter Gigi yang sedari tadi ada di dalam.

Saya pasti sudah gila, bahwa awalnya saya takut berjumpa dengan dia.
Yang sapa hangatnya saja sudah membuat saya suka.
Seperti susu bertemu soda: gembira.

"Iya dok, mama papa sibuk. Gigi saya nampaknya bolong semua, dok. Tolong ditambal satu per satu ya. Saya di sini seharian juga tidak apa-apa."

~Fluryluf~

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun