Why - Kenapa teori Martin Buber Aku-Engkau (I-Thou) dan Aku-Benda (I-It) bisa menjadikan komunikasi menjadi efektif ?.
Dari beberapa penjelasan dan pembahasan diatas kita sudah tau definisi dari Komunikasi efektif teori Martin Buber yang dia tuangkan dalam bukunya yang berjudul aku – engkau ( I – Thou ) dan Aku – Benda ( I – it ). Ada banyak sekali teori – teori komunikasi efektif yang dibuat oleh filsafat – filsafat terkenal. Mungkin saat membaca penjelasan di atas anda sebagai pembaca penasaaran atau masih bingung kenapa teori I and Thou bisa menjadi sebuah cara berkomunikasi yang efektif ? dalam point “why” ini adalah point untuk menjelaskan kenapa pemikiran martin buber yang ditulis dibukunya yang berjudul I and thou ini bisa menjadi teori komunikasi efektif.
Pada penjelasan sebelumnya i and thou diartikan sebagai Aku - Engkau ( i - Thou ) yang dimana antara aku dan entitas yang lahiriah dalam aku - engkau ini kita dapat menyenangkan diri kita dalam berkomunikasi antar manusia atau non manusia ( tuhan ) agar tetap bisa terjalin dalam berkomunikasi secara efektif antara sesama manusia dan tuhan. lalu aku - dia ( i - It ) yaitu aku dan benda hal ini menjadikan komunikasi menjadi efektif antara aku dan benda seperti mengamati suatu benda. Benda disini juga bisa disubjekan menjadi orang contohnya seperti mengamati sebuah pohon secara tidak langsung itu terjadi suatu komunikasi karna ada sebuah pikiran tentang pohon yang diamati tersebut. Oleh karena itu teori ini bisa menjadi efektif untuk berkomunikasi.
I and Thou, alias pemikiran dialogis, kayak yang dikembangkan Buber, merupakan perpaduan yang aneh antara yang sangat partikular dan abstrak yang puitis. Hal ini tidak cukup sistematis dalam menguraikan prinsip- prinsip intelektual buat penuhi syarat selaku filsafat buat sebagian filsuf akademis, tetapi menawarkan perspektif filosofis dengan nada yang diterapkan secara spesial. Dengan menegaskan kalau pertemuan yang sesungguhnya secara unik bertabiat langsung, kalau orang- orang wajib berjumpa dengan orang lain dengan sesedikit bisa jadi konsepsi lebih dahulu, etika diskusi nonpreskriptifnya berlaku sangat baik buat ikatan antarbudaya. Pengetahuan tentang suasana serta aplikasi orang lain bisa menolong orang menjawab pertemuan budaya yang tidak diketahui. Tetapi pengetahuan saja tidak lumayan. Yang lain bukan semata- mata perwakilan dari budaya ataupun kelompok, serta keasyikan dengan pengetahuan tentang karakteristik kelompok bisa membuat komunikator kehabisan keunikan orang- orang di hadapan mereka.
Demikian pula, sangat banyak ketergantungan sadar pada budaya sendiri ataupun afiliasi kelompok bisa berarti perbedaan antara jadi( serta dikira selaku)" orang" asli, di satu sisi, serta" orang" yang mementingkan diri sendiri, di sisi lain. Yang awal bisa berdialog serta mencermati pada dikala itu, sedangkan yang kedua terperangkap dalam jaring" aku"—karakteristik aku, ras ataupun etnis aku, Kerutinan aku, metode saya melaksanakan suatu.
"How" Bagaimana jika Thou ditukar dengan It dan sebaliknya ?
Bagaimana sih jika Thou dan It ditukar dan sebaliknya apakah bisa ? Bagi sosiologi Durkheim, Tuhan tidak berarti apa- apa sebab yang berarti merupakan kesakralan warga yang dimanifestasikan melalui ritual- ritual agama. Prekonsepsi- prekonsepsi ini menimbulkan orang itu tidak ingin yakin pada Tuhan. Tetapi, kala subyek memutuskan melalui grace buat membuka diri serta muncul dalam interaksi dengan wujud ataupun rasa yang tidak bisa jadi terdapat di dunia ini, kemudian perasaan serta ikatan itu dihayati jadi lebih berarti dari apapun, seluruh prekonsepsi psikologi serta sosiologi yang sudah dipelajari dapat lenyap sebab by grace subyek memutuskan buat membuka dirinya serta menerima Tuhan tanpa butuh bukti- bukti obyektif It. Ikatan dia serta Tuhan merupakan I– Thou.
Kebalikannya, Thou pula dapat berganti jadi It kembali. Seandainya seorang yang sudah membuka dirinya secara merata serta menyangka relasinya dengan Thou lebih berarti dari apapun pula, dia tetaplah rentan dengan fakta- fakta obyektif It. Bila kembali pada contoh diatas, sesuatu kala orang itu mengalami bermacam kemalangan hidup. Cintanya terhadap Tuhan yang sudah diperoleh melalui keterbukaan lebih dahulu tidak lagi dihayati selaku ikatan yang sangat berarti. Thou jadi tidak sangat berarti. Sebab kerenggangan ikatan ini, dalam kemalangan hidupnya, dia menyalahkan Tuhan atas seluruh yang terjalin atas dirinya. Penyalahan atas Tuhan ini disebabkan timbulnya kembali prekonsepsi berupa prasangka terhadap Tuhan, yang melaporkan kalau bersumber pada ajaran agama, Tuhan mempunyai kuasa buat membuat manusia mengidap. Prekonsepsi yang kembali timbul ini sudah melemahkan posisi Tuhan selaku Thou serta menjatuhkannya jadi It.
Jadi, It bisa berganti jadi Thou, serta begitu pula kebalikannya.
Sumber :
Modul Kuliah IV _ Martin Buber