BAGIAN 1 : PERKENALAN
NAMAKU Vino, umurku 7 tahun...
SORE ITU tahun 1997, aku sibuk bermain-main di rumah nenek yang berada di kampungku Kota Pematang Siantar, Sumatera Utara. Aku tengah sibuk bermain mengganggu kedua sepupuku yang usianya jauh di bawahku. Sepupuku bernama Kiki berusia 2 tahun dan Iman masih jalan setahun. Mereka anak dari tanteku yang bernama Siti.Â
Selama liburan bulan puasa, saban hari aku bermain mengganggu keduanya. Permainanku beru terhenti hanya saat makan siang dan waktu salat.
Nenekku bernama Rabani tinggal bersama dengan dua tanteku bernama Dea dan Vanya yang belum menikah serta seorang cucu bernama Siren. Tak ada laki-laki yang ditinggal di rumah nenek. Karena kakek sudah meninggal dua tahun silam akibat sakit gula.Â
Saat kakek meninggal, belum tahu arti dari sebuah kematian. Waktu itu, aku dibangunkan ibu untuk melihat kakek yang terakhir kalinya. Aku mengira kakek hanya sedang tertidur dan kebetulan teman-temannya, saudara dan tetangga berdatangan untuk melihat, ku kira mereka hanya sedang silaturahmi biasa saja.Â
Tapi, hal janggal aku rasakan saat melihat, kenapa orang-orang ini pada menangis, bukannya kalau bertemu harusnya senang bukan sedih, begitulah pikirku waktu itu.
Saat berada di hadapan tubuh kakek yang sudah tak bergerak, aku bertanya kepada ibu...
"Kakek kenapa bu, kok diam saja, terus wajahnya pucat," tanyaku.
Barulah tangis ibu pecah dan memelukku erat sambil mengatakan kakek sudah tidak ada. Aku sempat terdiam saat ibu memeluk, dan tidak tahu harus berbuat apa. Memang sering ibu bercerita soal saudara atau tetangga yang meninggal entah di dengar dari pengumuman masjid ataupun dari orang yang datang ke rumah mengabarkan. Tapi sejujurnya aku belum tahu saat itu apa ari dari sebuah kematian.
Ibu tak menjelaskan apa arti dari sebuah kematian saat itu, ia hanya menyuruhku untuk mendekati kakek, memeluk dan mencium wajah kakek yang pucat dengan bibir tersenyum. Aku sempat bertanya kenapa, kakek tidurnya tersenyum, tapi pertanyaanku malah membuat ibu semakin nangis menjadi-jadi.
"Kakek sudah meninggal nak," ucap ibu sambil memelukku sekali lagi.
Kakek akhirnya dimakamkan sehabis Dzuhur, tangis tak henti salng bertaut dari semua anak-anak kakek dan terutama nenek yang sangat terpukul dengan  kepergian kakek. Di  pemakaman, aku disuruh oleh ibu untuk menaburkan bunga di makam kakek.
Dua tahun berselang saat aku sudah sekolah dan duduk di kelas 2 SD, aku baru paham bahwa kematian adalah berakhirnya kehidupan makhluk hidup secara permanen, ditandai dengan berhentinya fungsi vital seperti jantung, pernafasandan aktivitas otak.
Kenapa aku tiba-tiba mengingat kakek, karena sore ini kami sekeluarga baru pulang ziarah dari makam kakek di area perkuburan di Jalan Bali.
Sesampainya di rumah nenek, aku sempat rebahan karena pegal sehabis berjalan dari pemakaman kakek. Aku sebenarnya sudah mulai puasa, tapi belum bisa full dan masih bolong-bolong. Kadang juga aku buka karena tergoda oleh makanan-makanan lezat yang disajikan tante Vanya selama bulan puasa.
Tiba-tiba dari arah depan rumah nenek, tante Dea teriak-teriak memanggil namaku.
"Vino sini dulu, sini ke depan," teriak tante Dea.
Aku yang mendengar tante Dea teriak, langsung bergegas ke depan rumah. Sesampainya di depan rumah, aku serasa melihat seorang cewek cantik bak bidadari yang umurnya mungkin seusiaku.
"Kenalin nih tetangga baru kita," ucap tante Dea sambil menyodorkan tanganku ke si cewek cantik.
Hal itu sontak membuatku jadi malu-malu kucing di depan si cewek.
"Hai, aku Raya," ucap si cewek cantik dengan lembut.
"Hai, aku Vino."jawabku sambil bertanya lagi siapa nama panjangnya.
cewek cantik ini ternyata gercep untuk menyambutnya.
"Rayanna," jawabnya sambil tersenyum kecil.
"Hei kok tante enggak diajak kenalan juga," ujar mama Raya menyambung obrolan.
"Eh iya tante, maaf, maaf. Kenalin tante saya Vino, nama panjangnya Vino Bagaskara," jawabku.
"Wow bagus nama kamu ya," puji mama Raya.
Tante Dea lalu mengajak mama Dea untuk masuk ke dalam dan mengenalkannya kepada keluarga yang lain di dalam.
"Kalian sini aja main berdua ya," ujar tante Dea sambil menggoda dengan mengedipkan matanya.
Aku tertawa sekaligus malu mendengar tante Dea menggodaku dengan cara demikian.
"Apaan sih tante nih," katanya sewot.
Aku lalu mengajak Raya untuk bermain di halaman rumah.
"Kita main di sana aja yok," kataku dengan penuh semangat.
Raya lalu menyambut ajakanku dengan penuh semangat.
Di halaman rumah yang cukup luas, aku mengajak Raya bermain kejar-kejaran. Ia pun sangat senang dan seperti menikmati bermain dengan teman barunya. Sesekali aku usil mencolek bahunya, ia pun membalas dengan mencubit manja bahuku.
Lanjut, Bagian 2...
Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI