Mohon tunggu...
M Andimaz Kahfi
M Andimaz Kahfi Mohon Tunggu... Penulis - JOURNALIST

MENYUARAKAN KEHIDUPAN

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Cerbung: Cinta Pertama

23 Oktober 2024   02:19 Diperbarui: 23 Oktober 2024   02:29 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

BAGIAN 1 : PERKENALAN

NAMAKU Vino, umurku 7 tahun...

SORE ITU tahun 1997, aku sibuk bermain-main di rumah nenek yang berada di kampungku Kota Pematang Siantar, Sumatera Utara. Aku tengah sibuk bermain mengganggu kedua sepupuku yang usianya jauh di bawahku. Sepupuku bernama Kiki berusia 2 tahun dan Iman masih jalan setahun. Mereka anak dari tanteku yang bernama Siti. 

Selama liburan bulan puasa, saban hari aku bermain mengganggu keduanya. Permainanku beru terhenti hanya saat makan siang dan waktu salat.

Nenekku bernama Rabani tinggal bersama dengan dua tanteku bernama Dea dan Vanya yang belum menikah serta seorang cucu bernama Siren. Tak ada laki-laki yang ditinggal di rumah nenek. Karena kakek sudah meninggal dua tahun silam akibat sakit gula. 

Saat kakek meninggal, belum tahu arti dari sebuah kematian. Waktu itu, aku dibangunkan ibu untuk melihat kakek yang terakhir kalinya. Aku mengira kakek hanya sedang tertidur dan kebetulan teman-temannya, saudara dan tetangga berdatangan untuk melihat, ku kira mereka hanya sedang silaturahmi biasa saja. 

Tapi, hal janggal aku rasakan saat melihat, kenapa orang-orang ini pada menangis, bukannya kalau bertemu harusnya senang bukan sedih, begitulah pikirku waktu itu.

Saat berada di hadapan tubuh kakek yang sudah tak bergerak, aku bertanya kepada ibu...

"Kakek kenapa bu, kok diam saja, terus wajahnya pucat," tanyaku.

Barulah tangis ibu pecah dan memelukku erat sambil mengatakan kakek sudah tidak ada. Aku sempat terdiam saat ibu memeluk, dan tidak tahu harus berbuat apa. Memang sering ibu bercerita soal saudara atau tetangga yang meninggal entah di dengar dari pengumuman masjid ataupun dari orang yang datang ke rumah mengabarkan. Tapi sejujurnya aku belum tahu saat itu apa ari dari sebuah kematian.

Ibu tak menjelaskan apa arti dari sebuah kematian saat itu, ia hanya menyuruhku untuk mendekati kakek, memeluk dan mencium wajah kakek yang pucat dengan bibir tersenyum. Aku sempat bertanya kenapa, kakek tidurnya tersenyum, tapi pertanyaanku malah membuat ibu semakin nangis menjadi-jadi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun