Siang yang panas, berdiri di dekat pagar museum yang dipenuhi bunga merambat, dua orang: seorang pria dan seorang wanita, Naga dan Nona.
Prianya berambut gondrong sebahu, sedangkan wanitanya tersenyum teduh.
"Kenapa terus menatap?" Nona menoleh perlahan dan beradu tatap.
"Kamu cantik," ucap Naga ringan, pelan, dengan mata yang masih memandang. Nona langsung meniru ucapan Naga tanpa suara. Nona meledek perkataan Naga seakan-akan tidak terima.
Empat tahun lalu, ketika Naga berucap begitu, Nona tidak mau.
Dandan, dibilang cantik. Tidak dandan, apalagi. Kalau begitu, kapan tidak cantik. Perkataan Naga seperti tidak realistis.
Awalnya, Naga terasa terlalu gombal baginya. Pagi, siang, atau malam. Ruang tamu, dapur, atau kamar. Ucapan Naga tak akan ada bedanya. Kini, Nona sudah terbiasa.
"Mengapa mengajak keluar?"
"Supaya tidak terus-terusan di rumah."
"Gencatan senjata?"
"Iya. Supaya kamu tidak lagi marah."
Nona sudah tahu siasat Naga. "Makanya, cemburu biasa saja. Jangan bicara melebar ke mana-mana."
"Maaf."
Naga menggenggam tangan Nona dan Nona membalas menggenggamnya, sesaat, sebelum ia melepasnya sambil melangkah lebih dulu ke depan.
"Masih merajuk ya," pikir Naga.
"Tidak semudah itu," pikir Nona.
Naga menunjuk beberapa pintu ruangan museum. "Pintu zaman dulu besar-besar."
"Aliran arsitektur zaman dulu di Eropa megah-megah."
"Terbawa dari Belanda ke Indonesia."
"Tapi, balik lagi ke pintu yang besar. Apakah dulu manusia tinggi seperti raksasa?"
"Aku pernah baca bahwa ada seseorang tingginya sebelas meter seperti sebuah bangunan."
"Berarti bisa saja zaman dulu raksasa itu ada dan menjadi alasan pintu zaman dulu begitu besar."
"Coba perhatikan di sisi yang berbeda! Semakin hari, bangunan semakin sederhana."
"Minimalis, industrialis. Tembok tak perlu dicat, cukup di-aci."
"Tak hanya bangunan. Kendaraan pun demikian."
"Juga lambang dan logo perusahaan."
"Dunia sedang menuju kesederhanaan sepertinya."
"Ah. Kesederhanaan apanya. Pada dasarnya pasti faktor ekonomi dan kebutuhan."
"Betul juga. Semakin rumit desain, semakin lama juga pengerjaan dan semakin banyak bahan."
"Jadi lebih mahal."
"Benar."
"Faktor ekonomi memang alasan segala inti."
"Uang bukan segalanya, memenuhi kebutuhan adalah intinya."
"Kadang aku menertawakan masa mudaku yang menganggap bahwa percintaan adalah segalanya."
"Tidak segalanya, tapi intinya keseimbangan?"
"Setuju!" seru Naga.
Naga menatap sebuah atm dari tahun 1998. Nona mendongak melihat motor bobrok di jendela. Tahun itu mereka masih bocah ingusan yang bau jalanan, tersandung dan tidak digubris saat pulang sekolah. Angkot mangkrak dan para sopirnya entah ke mana.
Naga merangkul Nona dari belakang. Mencium kepalanya sekali saja. Nona tak sempat menghindar atau berkelakar. Pikir Naga tidak salah untuk sekadar berusaha dan memberi sayang. Naga berharap Nona akan melunak. Tapi, Naga tahu Nona akan kesal. Nona berjalan lagi ke depan.
"Masih merajuk ya," pikir Naga.
"Tidak semudah itu," pikir Nona.
Nona berdiri di bawah pendingin udara. Naga berdiri di samping bawah pendingin udara. "Tempatnya bersahabat."
"Terawat dan diperhatikan."
"Pantas tempat ini ramai dan nyaman."
"Tidak menyeramkan."
"Entah kalau malam."
"Mungkin patung-patung itu saling bicara."
"Tidak. Mereka pasti dikunci supaya tidak saling menghancurkan."
"Kamu kira ini kisah Nabi Ibrahim dan Abrahah."
"Patung, replika, pameran, arsitektur, semuanya di sini menarik."
"Kalau tulisan penjelasan panjangnya, kurang menarik."
"Ini yang lebih menarik dari pameran sejarah dan rentetan peristiwa." Naga memajukan lengan. Foto Nona di layar ponsel Naga.Â
"Sudah pernah kubilang! Boleh foto kalau aku sudah izinkan!"
Nona tiba-tiba marah. Naga tambah bingung, sungkan, dan menyesal. Bagaimana caranya? Supaya tidak marah? Supaya berbaikan? Mata Naga hilang ditelan terka-menerka. Mata Naga hilang ditelan pertanyaan harus bagaimana.
"Kalau mau foto, tanya. Kalau dijawab tidak boleh, jangan. Coba lihat! Di sini titik yang tepat, di bawah cahaya. Hasilnya akan maksimal."
Naga bingung.
"Sini!"
Naga bergegas dan membuka kamera depan. Nona berdiri di belakang Naga. Dagunya bersandar di bahunya. Kepala bertemu kepala. Napas bertemu napas. Pose yang biasa mereka lakukan.
Nona sudah melunak? Nona sudah bermanja?
Setelah wajah mereka berdua tertangkap, Naga juga ingin telapak tangan Nona tertangkap. Eits! Nona melangkah ke depan.
"Masih merajuk juga," pikir Naga.
"Tidak semudah itu," pikir Nona.
Naga kembali mengejar Nona. Ingin kembali menuju rumah yang sama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H