Di dalam tulisan kali ini, saya sudah sejak lama tidak menyetujui kebenaranya. Bahkan untuk eksistensinya, di celah sunyi dalam irama berfikir ada gambaran yang merambat dengan indah mengisi, yang seakan membawa kita dalam penyelesaian tanpa harus melewati kembali jalanan yang sakit, oleh apa yang disebut, Bunuh Diri.Â
Mindstream masyarakat, meletakkan Bunuh Diri sebagai fenomena sosial. Keadaan destruktif yang tak berkesudahaan. Jalinan interaksi sosial yang kacau, dorongan kejiwaan yang menekan segalah batas normalitas, jalur perekonomian yang tersendat dalam perselisihan keinginan dan kebutuhan.Â
Bukan kita tidak mengerti segalah jawaban atas pertanyaan apa yang dipampangkan hidup, atau bukan kita tidak mempertanyakan atas segalah jawaban apa yang di pampangkan hidup. Tapi itu semua telah selesai dalam pemahaman kita bagi orang lain, pemahaman orang lain untuk kita. Hanya saja semua memiliki rotasi yang tak berkesudahan, tidak ada yang berada dalam ketetapan.Â
Apakah kita tidak bisa menerima sesuatu yang tak berkesudahan? Tentuh tidak. Kecuali oleh kamatian. Kita seperti Tantalus, yang dikutuk karena kekekalan untuk berdiri di genangan air di bawah buah yang menggantung yang surut setiap kali dia meraihnya.
Interaksi manusia dengan kehidupan mematik  adanya pengalaman. Sesekali pengalaman akan terdorong oleh kesadaran, terutama pengalaman yang dirasa mengganggu, yang seketika akan membuat manusia berubah menjadi seperti apa yang dihadirkan kembali dalam pengalamanya. Seringkali kondisi terisolasi ini menimbulkan kecemasan dan perasaan teralienasi dan mempertanyakan kembali apa sebenarnya hakekat keberadaan manusia.
Kebenaran keberadaan manusia sudah sejak lama diperbincangkan. Bahkan di era keheningan mitos, agama yang mengagungkan keilahian nalar. Sampai di era keemasan pemikiran manusia yang mengunggulkan rasionalitas dalam keberadaan dirinya dan alam semesta. Namun, gerak manusia selalu terjebak dalam pengalaman dan tidak ada kapasitas kebenaran absolut atau makna yang transenden.
Albert Camus mengatakan didalam Myth of Sisyphus and Other Essays, bahwa "Manusia berdiri berhadap-hadapan dengan yang tidak rasional. Dia merasakan dalam dirinya kerinduannya akan kebahagiaan. Yang absurd lahir dari konfrontasi antara kebutuhan manusia dan keheningan dunia yang tidak masuk akal. "
Jika memakai istilah Albert Camus tentang absurditas. Bukan alam semesta yang tidak masuk akal, tetapi hubungan antara keberadaan manusia dan kesadaran absurdnya dengan alam semesta. Bahkan, kehadiran kesadaran absurd tergantung pada manusia seperti manusia yang tergantung pada dunia.
Ada dua strategi untuk menghadapi kesadaran absurd ini, didalam Mitos Sisyphus and Other Essays, Camus mengemukakan "bunuh diri fisik dan bunuh diri filosofis".
Bunuh diri secara fisik, tentuh sudah tidak asing bagi kita, seperti halnya para militer jepang yang melakukan harakiri, menancapkan dinginnya sebilah mata samurai pada bagian perut, didalam kondisi yang tidak memungkinkan lagi bagi mereka untuk hidup. Sementara itu, bunuh diri secara filosofis adalah pelarian diri dari kesadaran Absurd pada iman dan harapan, Â Meskipun tidak ada bukti, orang-orang seperti itu mengadopsi keyakinan bahwa di luar keberadaan duniawi ini terdapat harmoni, nirwana, makna, atau Tuhan yang absolut.
Lantas, apakah dua strategi untuk menghadapi kondisi absurd ini berhasil?
Bukankah keberadaan manusia adalah untuk kesadaran absurd itu sendiri?
Baik bunuh diri secara fisik ataupun bunuh diri secara filosofis tetap berada dalam nihilistik, tidak ada bukti kebenaran untuk itu, sia-sia. Maka, satu-satunya jalan keluar adalah mengambil kebijakan yang lebih tinggi, pemberontakan.
Pemberontakan adalah bentuk penolakan setelah penerimaan. Ini adalah bentuk konfrontasi secara terus-menerus antara manusia dan ketidak jelasannya sendiri. Ini adalah desakan pada transparansi yang tidak mungkin. Ini menantang dunia baru setiap detik. Ini bukan aspirasi, karena tanpa harapan. Pemberontakan itu adalah kepastian nasib yang menghancurkan, tanpa pengunduran diri yang seharusnya menyertainya. Upaya untuk membentuk kembali keberadaan manusia melalui upaya sendiri.
"Tidak diragukan pemberontak menuntut kebebasan tertentu untuk dirinya sendiri; tetapi dalam keadaan apa pun dia tidak menuntut, jika dia konsisten, hak untuk menghancurkan orang dan kebebasan orang lain. Dia tidak menurunkan siapa pun. Kebebasan yang dia minta dia klaim untuk semua orang. Dia bukan hanya budak yang menentang tuannya, tetapi juga orang yang menentang dunia tuan dan budak". Albert Camus dalam The Rebel.
Seorang pemberontak harus mampuh meyakini bahwa tidak ada apapun diluar dirinya yang bisa membenarkan keberadaan ini. Penghancuran kekacuan dan penderitaan dunia atas nama khayalan. Hal ini terdengar seperti konsepsi pemikiran kaum sosialis pada abad ke-20, sebuah "kerinduan akan persatuan". Jika manusia tidak bisa mencapai nilai bersama, nilai yang telah melekat dalam diri manusia. Maka manusia tidak bisa dipahami sebagai manusia.
Pemberontakan adalah langkah kebebasan. Langkah yang tepat membebaskan diri dari keberadaan ini, dengan menjadi benar-benar bebas sebagai manusia.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI