Bukankah keberadaan manusia adalah untuk kesadaran absurd itu sendiri?
Baik bunuh diri secara fisik ataupun bunuh diri secara filosofis tetap berada dalam nihilistik, tidak ada bukti kebenaran untuk itu, sia-sia. Maka, satu-satunya jalan keluar adalah mengambil kebijakan yang lebih tinggi, pemberontakan.
Pemberontakan adalah bentuk penolakan setelah penerimaan. Ini adalah bentuk konfrontasi secara terus-menerus antara manusia dan ketidak jelasannya sendiri. Ini adalah desakan pada transparansi yang tidak mungkin. Ini menantang dunia baru setiap detik. Ini bukan aspirasi, karena tanpa harapan. Pemberontakan itu adalah kepastian nasib yang menghancurkan, tanpa pengunduran diri yang seharusnya menyertainya. Upaya untuk membentuk kembali keberadaan manusia melalui upaya sendiri.
"Tidak diragukan pemberontak menuntut kebebasan tertentu untuk dirinya sendiri; tetapi dalam keadaan apa pun dia tidak menuntut, jika dia konsisten, hak untuk menghancurkan orang dan kebebasan orang lain. Dia tidak menurunkan siapa pun. Kebebasan yang dia minta dia klaim untuk semua orang. Dia bukan hanya budak yang menentang tuannya, tetapi juga orang yang menentang dunia tuan dan budak". Albert Camus dalam The Rebel.
Seorang pemberontak harus mampuh meyakini bahwa tidak ada apapun diluar dirinya yang bisa membenarkan keberadaan ini. Penghancuran kekacuan dan penderitaan dunia atas nama khayalan. Hal ini terdengar seperti konsepsi pemikiran kaum sosialis pada abad ke-20, sebuah "kerinduan akan persatuan". Jika manusia tidak bisa mencapai nilai bersama, nilai yang telah melekat dalam diri manusia. Maka manusia tidak bisa dipahami sebagai manusia.
Pemberontakan adalah langkah kebebasan. Langkah yang tepat membebaskan diri dari keberadaan ini, dengan menjadi benar-benar bebas sebagai manusia.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI