Mohon tunggu...
Dimas Pramudana
Dimas Pramudana Mohon Tunggu... -

Find Out Yourself

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Calon Perseorangan (Independen): Sebuah Proses Pembelajaran Politik Bangsa, Siapkah?

9 Maret 2016   23:39 Diperbarui: 11 Maret 2016   01:05 685
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Maraknya wacana Calon Independen di beberapa daerah/kabupaten ternyata juga mampu membuat pribadi resah. Menariknya, bukan hanya mengenai efektivitas mekanisme an sich, bukan hanya mengenai output apa yang dapat dihasilkan dari mekanisme pencalonan tersebut, tetapi juga kepentingan mana yang sedang diakomodasi dan proses pembelajaran apa yang dapat dialami oleh bangsa ini.

Mengapa dikatakan demikian, karena lagi-lagi fenomena ini adalah turunan dari mekanisme pemilihan umum berlabel demokratis di negeri paman sam, Amerika Serikat. Calon Independen adalah calon yang maju dalam kegiatan politik (pilkada atau pemilu) tanpa melalui mekanisme pencalonan parta politik. Sebagai bagian dari demokrasi, di Amerika Serikat, yang jelas-jelas menggunakan sistem presidensiil, calon Independen diperbolehkan, meskipun memang tidak pernah menang.

Dari ranah yang paling mudah, ternyata definisi Calon Independen juga tidak diketemukan dalam setiap peraturan kenegaraan terkait. Dalam setiap peraturan-peraturan tersebut justru menggunakan frasa “Calon Perseorangan”. Independen memiliki arti kebebasan, bebas, merdeka atau berdiri sendiri. Dalam dunia politik, frasa independen dapat diartikan ketidakberpihakan seseorang kepada salah satu partai, atau ketiadaan tendensi atau kepentingan selain kepentingan mayoritas rakyat. 

Kemudian pertanyaan yang kemudian timbul, apakah benar-benar Calon Independen tersebut tidak membawa kepentingan? Bagaimana masalah permodalan? Apabila memang memiliki modal, apakah dapat diartikan bahwa yang dapat mencalonkan hanya para kapitalis/pengusaha yang benar-benar ingin mengabdikan diri kepada negara? Yakinkah? Kemudian apabila si Calon mendapatkan dana dari para donatur yang notabene dari pengusaha atau badan hukum, adakah jaminan tidak akan ada politik balas budi disana? Masihkah layak disebut Independen? Marilah kita menggunakan frasa yang tepat, para pembuat undang-undang pastilah juga telah melakukan kajian-kajian khusus sehingga dipilihlah Calon Perseorangan (“CP”) daripada Calon Independen.

Masuk ke bahasan yang lain, ada baiknya dimulai dengan mengidentifikasi berbagai faktor dengan menggunakan analisa SWOT sederhana sebagai berikut:

Strength:

·         Track Record yang mumpuni sehingga dipercaya oleh masyarakat

·         Tidak dikekang oleh kepentingan dan ideologi-ideologi Partai tertentu (menghindari oligarki partai politik)

Weakness:

·         Kebimbangan independensi karena hanya dianggap mewakili kelompok pemilih.

·         Belum tersedianya payung hukum yang lengkap.

·         Modal untuk melakukan kampanye dan penggajian Tim Sukses

Opportunities:

·         Animo masyarakat terhadap pemimpin muda yang berprestasi dan mekanisme pemilihan baru (demenyar).

·         Turunnya kepercayaan masyarakat terhadap partai politik.

·         Kesempatan aktualisasi diri.

Threats:

·         Mekanisme pengawasan oleh rakyat yang tidak terjamin.

·         Implikasi politik dari keberadaan calon perseorangan tersebut khususnya terhadap persaingan politik.

·         Efektivitas pemerintahan yang dipertanyakan karena tidak mendapatkan dukungan dari parlemen.

·         Impeachment.

Dari analisa sederhana diatas, terlihat bahwa masih banyak hal-hal yang perlu dimatangkan termasuk strategi si Calon dan sikap batin si pemilih yang harus legowo menerima apapun konsekuensi dari pencalonan perseorangan tesebut.

Untuk dapat memenangkan kontestasi perpolitikan ini tentuk bukan persoalan yang mudah bagi sang CP, karena seperti yang disebutkan diatas, sang CP tidak memiliki sistem politik yang efektif. CP tidak memilki infrastruktur politik yang dapat mempermudah akses kepada sang pemilih. Jawaban yang kemudian dapat dimunculkan adalah mengedepankan teknologi internet dan sosial media. Dampak dari kemajuan teknologi memang dirasa mempermudah akses bagi para pemilih dan yang dipilih, menampangkan foto-foto kunjungan dengan diberi note-note yang klasik dan secara pribadi, sangat diragukan otentisitas kenuraniannya.

Berbicara mengenai modal, sang CP pasti memiliki keterbatasan karena realitas ongkos politik yang tidak terjangkau oleh semua orang. Kekhawatirannya adalah mekanisme CP ini sesungguhnya adalah hanya memberi kesempatan bagi mereka yang berduit, pemilik modal, pengusaha dan pejabat-pejabat yang terlanjur kaya. Kemungkinan terbaik memang dapat memanfaatkan dukungan-dukungan finansial dari berbagai pihak termasuk partai politik dan gabungan partai politik, namun implikasinya adalah silahkan menjawab sendiri.

Masalah inti yang akan dialami oleh CP ada pada masa dimana dia telah berhasil menduduki kursi jabatan. Dimana disadari bahwa payung-payung hukum terkait dengan pengaturan CP yang baru dimiliki negara ini adalah baru dalam tahap prasyarat CP dan verifikasi CP, permasalahan inti setelah menjabat kepala daerah masih tunduk kepada peraturan-peraturan existing yang dikhawatirkan hanya mengakomodir kepentingan partai politik. Oleh karena itu pengaturan keseimbangan kekuasaan dengan legislatif benar-benar harus menjadi perhatian, hal ini muncul sebagai konsekuensi bahwa CP tidak memiliki dukungan politik dari partai politik di lembaga legislatif.

Pada tataran tersebut keresahan mengakar pada efektivitas penyelenggaraan pemerintahan sang CP, karena tidak memiliki dukungan, bisa-bisa independensinya menjadi hilang karena harus mengakomodir kepentingan beberapa elite parpol yang pada akhirnya proses keberlangsungan pemerintahan akan tetap saja dikendalikan olek kepentingan partai politik.

Kemudian, karena tim pendukung tidak memiliki wadah organisasi AD/ART layaknya partai, instrumen apakah yang akan digunakan apabila ternyata sang CP hanya mengumbar janji-janji manis pada masa kampanye? Mampukah sang CP menjaga komitmen dengan membuat Perjanjian Politik dengan masa pendukungnya? Beranikah sang CP mendokumentasikan setiap rapat dan kemudian mengunggahnya ke jejaring sosial yang dapat diakses oleh rakyatnya atas nama transparansi?

Berpolitik tidak dapat dikuasai hanya dengan menguasai dimensi teori, namun juga harus menguasai dimensi-dimensi eksperimental, harus berdasarkan pengalaman. Dalam terminologi jawa dalam beberapa piwulang kautaman sering dikumandangkan falsafah ngelmu iku klakone kanthi laku / berilmu itu harus sampai melakukan perbuatan nyata yang berguna bagi sesama. Jika sampai si CP tidak memiliki dimensi ini maka yang akan dihasilkan hanyalah politik-politik praktis yang berimbas pada kekacauan dan kegaduhan pada suatu tatanan masyarakat.

Jika ternyata hasilnya sama saja, kekhawatiran saya pribadi adalah bahwa wacana CP ini hanya digunakan oleh para tangan-tangan tidak terlihat (the invisible hand) untuk membuat suasana kacau yang kemudian menjadi preseden untuk dikucurkannya aturan-aturan baru yang hanya akan mengakomodir kepentingan mereka sendiri (fenomena reformasi 98). Jadi teringat bukunya Mba Naomi Klein yang berjudul The Shock Doctrine, dimana dalam salah satu babnya menceritakan tentang Surviving Democracy - “Bombs made of Law”, kekacauan diciptakan untuk menciptakan hukum-hukum baru.

 

Oh ya, satu lagi, CP disini bukan Catrio Piningit ya.

 

(Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis yang didasarkan pada beberapa sumber yang tidak dapat disebutkan satu-persatu). 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun