Usia moderasi pendidikan di Indonesia, sebenarnya sudah sangat tua. Bahkan lebih tua dari usia republik ini. Jika Negara Kesatuan Republik Indonesia diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945, maka berdirinya Syarikat Islam (1905 ), Budi Utomo ( 1908 ), Muhammadiyah ( 1912 ), Taman Siswa ( 1922 ), Nahdlatul Ulama ( 1926 ) sudah mengusung semangat moderasi pendidikan Indonesia. Dialog tentang moderasi pendidikan mengalir beriringan dengan berdirinya organisasi sosial kemasyarakatan prakemerdekaan itu.
Lahirnya model sekolah yang dianggap mengadopsi pendidikan ala barat, akhirnya bisa diterima dan menjadi titik temu antara model pendidikan tradisional dan modern ( klasikal ).Â
Bahkan Ki Hajar Dewantara memilih istilah yang cukup moderat sebagai middle of the road, yakni Taman Siswa. Makna taman menurut KBBI, adalah tempat yang menyenangkan. Ia bukan sekadar kosa kata pembeda, tapi ingin menunjukkan jatidiri keIndonesiaan.
Dalam Islam, gerakan moderasi lebih dikenal dengan istilah wasathiyah ( gerakan pertengahan ), tidak terlalu ekstrim ke kanan dan tidak terlalu ekstrim ke kiri. Ia bisa menjadi jembatan berbagai corak pemikiran dan kepentingan. Kalau pada satu kutub ada suasana sekularistik, kutub lainnya ada nuansa agamis, maka titik tengahnya adalah nasionalis.Â
Kekuatan ini ingin menghubungkan dua kutub perbedaan yang ada. Dalam suasana kebhinnekaan itulah, dibutuhkan ruang untuk saling memahami, toleran, dan  menghargai perbedaan.
Pendidikan Indonesia yang mewarisi jati diri dan pemikiran Ki Hajar Dewantara ( Bapak Pendidikan Indonesia ), telah mengokohkan sebagai kekuatan tengah. Kendati demikian, moderasi tak harus dimaknai jauh dari suasana relegiusitas.Â
Justru nilai -- nilai relegiusitas yang mengakar kuat pada diri bangsa Indonesia akan menjadi nutrisi keberhasilan pendidikan karakter yang kita kibarkan selama ini.Â
Esensi nilai --nilai agama yang diyakini, dan diterapkan dalam ruang -- ruang kelas, seperti doa bersama dengan warna agama tertentu, kebiasaan tilawah al quran, sholat dhuha, kebiasaan bersedekah, akan turut melahirkan karakter positif para siswa. Nilai --nilai agama akan semakin menguatkan imunitas spiritual siswa dalam upaya membangun manusia seutuhnya.
Lahirnya Pancasila, sebagai dasar negara, menjadi jalan tengah guna mengakomudasi berbagai kepentingan politik yang sedang berkecamuk pada saat itu. Antara pemikiran sekularis liberalis yang kebarat -- baratan vis a vis dengan pemikiran agamis yang puritan dipertemukan dengan watak nasionalis, Pancasila.Â
Sebagai ideologi final yang merupakan kesepakatan paling efektif untuk pengikat kebhinnekaan lokal dan nasional yang ada. Semangat kesukuan yang jauh -- jauh hari dikedepankan dan disakralkan, perlahan pupus dengan sendirinya, saat Pancasila menjadi satu -- satunya dasar falsafah bangsa.Â
Pancasila menjadi titik temu berbagai madzab politik sekaligus madzab pendidikan. Ia akan menjadi jalan pulang, ketika harapan -- harapan dan ekperimentasi menjumpai kebuntuan. Ketika banyak orang mulai tersesat dalam labirin pemikiran, Pancasila menjadi formula ampuh untuk mengembalikannya.