Pendahuluan
Demokrasi merupakan sistem yang bertujuan untuk menjamin partisipasi rakyat dalam pemerintahan, memastikan keadilan sosial, serta menciptakan tata kelola negara yang bersih dan transparan. Namun, dalam praktiknya, demokrasi di Indonesia menghadapi tantangan serius, salah satunya adalah fenomena jabatan sebagai "bancakan" atau ajang bagi-bagi kekuasaan. Fenomena ini semakin merajalela seiring dengan melemahnya institusi penegak hukum, praktik politik dinasti, serta meningkatnya budaya klientelisme dan korupsi politik.
Dalam tulisan ini, kita akan membahas fenomena bancakan jabatan dalam demokrasi Indonesia, menggunakan data dan fakta terbaru, teori para ahli tentang korupsi politik, serta perspektif ideologi Marhaenisme yang berpihak pada rakyat kecil. Dengan memahami permasalahan ini secara lebih mendalam, diharapkan kita bisa menggagas solusi untuk mengembalikan demokrasi pada tujuan sejatinya, yakni menyejahterakan rakyat banyak, bukan hanya segelintir elit.
---
Fenomena Bancakan Jabatan dalam Demokrasi Indonesia
Bancakan jabatan merujuk pada praktik di mana kekuasaan politik digunakan untuk membagi-bagikan posisi strategis kepada orang-orang yang memiliki kedekatan dengan penguasa, bukan berdasarkan kompetensi atau kepentingan rakyat. Praktik ini sering terjadi di Indonesia, terutama dalam konteks politik dinasti dan oligarki kekuasaan.
Salah satu contoh terbaru yang menjadi sorotan adalah dugaan upaya Presiden Joko Widodo untuk membangun politik dinasti dengan mendorong anaknya untuk maju dalam pemilihan kepala daerah, meskipun ada putusan Mahkamah Konstitusi yang melarangnya. Sayangnya, putusan ini tidak dijalankan secara tegas, bahkan parlemen seolah mengabaikannya. Hal ini menjadi bukti bahwa institusi-institusi demokrasi yang seharusnya menjaga keseimbangan kekuasaan semakin melemah.
Selain politik dinasti, bancakan jabatan juga sering terjadi dalam bentuk bagi-bagi kursi di lembaga pemerintahan dan badan usaha milik negara (BUMN). Banyak jabatan strategis yang seharusnya diisi oleh profesional justru diberikan kepada mereka yang memiliki hubungan politik dengan elite penguasa. Akibatnya, kebijakan yang dihasilkan cenderung tidak berbasis pada kepentingan rakyat, melainkan untuk menjaga stabilitas kekuasaan kelompok tertentu.
---
Data dan Fakta Terkini
Fenomena bagi-bagi jabatan tidak hanya menjadi isu politik semata, tetapi juga memiliki dampak nyata terhadap tata kelola pemerintahan. Salah satu indikatornya adalah melemahnya lembaga antikorupsi di Indonesia, terutama setelah revisi Undang-Undang KPK pada 2019 melalui UU No. 19 Tahun 2019.
Setelah revisi tersebut, jumlah operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan oleh KPK mengalami penurunan drastis. Sebelumnya, KPK secara aktif melakukan OTT terhadap pejabat yang terlibat dalam korupsi, tetapi setelah revisi, proses penindakan menjadi lebih sulit karena adanya aturan yang memperumit prosedur penyadapan dan investigasi. Akibatnya, banyak kasus korupsi besar yang melibatkan elit politik tidak ditindak secara optimal.
Selain itu, survei terbaru menunjukkan bahwa kepercayaan publik terhadap KPK mengalami penurunan signifikan. Banyak masyarakat yang mulai meragukan independensi lembaga tersebut, terutama setelah sejumlah pejabat KPK dipecat dengan alasan yang kontroversial. Hal ini semakin memperkuat dugaan bahwa revisi UU KPK bertujuan untuk melemahkan pemberantasan korupsi dan melindungi kepentingan para elite politik.
Dalam konteks politik dinasti, Mahkamah Konstitusi sebenarnya telah mengeluarkan putusan yang melarang praktik tersebut. Namun, dalam kenyataannya, praktik politik dinasti masih terus berlangsung, bahkan mendapatkan legitimasi dari parlemen. Hal ini menunjukkan bahwa demokrasi di Indonesia masih sangat rentan terhadap intervensi politik yang menguntungkan segelintir kelompok saja.
---
Teori Para Ahli tentang Korupsi Politik
Para ahli politik telah lama mengkaji fenomena korupsi dalam sistem demokrasi. Salah satu teori yang relevan adalah konsep klientelisme, yang menjelaskan bagaimana hubungan patron-klien dalam politik menciptakan ketimpangan dan melemahkan demokrasi.
Menurut modul kelas Politik Cerdas Berintegritas (PCB) yang dikeluarkan oleh KPK, klientelisme adalah hubungan di mana elit politik memanfaatkan sumber daya publik untuk membangun loyalitas politik. Dalam sistem ini, pemimpin tidak dipilih berdasarkan visi atau kompetensi, melainkan berdasarkan seberapa besar sumber daya yang bisa mereka bagi-bagikan kepada pendukungnya.
Ramadhan dan Oley (2019) dalam Jurnal Antikorupsi INTEGRITAS juga menjelaskan bahwa klientelisme adalah salah satu bentuk korupsi politik yang paling merusak. Praktik ini membuat kebijakan publik lebih berpihak kepada kelompok-kelompok tertentu yang memiliki akses ke kekuasaan, sementara rakyat kecil justru semakin terpinggirkan.
Jika fenomena ini dibiarkan, demokrasi akan semakin kehilangan makna sejatinya. Pemerintahan yang seharusnya dijalankan berdasarkan kepentingan rakyat akan berubah menjadi alat bagi kelompok tertentu untuk mempertahankan kekuasaan mereka.
---
Perspektif Ideologi Marhaenisme
Dalam konteks Indonesia, ideologi Marhaenisme yang dicetuskan oleh Soekarno memberikan pandangan kritis terhadap fenomena bancakan jabatan. Marhaenisme menekankan bahwa politik harus berpihak kepada rakyat kecil (marhaen), bukan kepada kelompok elite yang hanya mencari keuntungan pribadi.
Soekarno meyakini bahwa kekuasaan harus digunakan untuk memperjuangkan kesejahteraan rakyat, bukan untuk kepentingan pribadi atau golongan tertentu. Oleh karena itu, praktik korupsi politik dan bagi-bagi jabatan sangat bertentangan dengan nilai-nilai Marhaenisme.
Revisi UU KPK 2019, yang melemahkan upaya pemberantasan korupsi, juga bertentangan dengan semangat Marhaenisme. Korupsi pada akhirnya akan merampas hak-hak ekonomi rakyat kecil, karena anggaran negara yang seharusnya digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan justru mengalir ke kantong segelintir elite politik.
Dalam Marhaenisme, politik dinasti juga dianggap sebagai bentuk pengkhianatan terhadap demokrasi. Kekuasaan seharusnya diberikan kepada mereka yang benar-benar memiliki kapasitas dan komitmen terhadap kesejahteraan rakyat, bukan diwariskan kepada keluarga atau kerabat dekat semata.
---
Solusi untuk Menyelamatkan Demokrasi
Untuk mengembalikan demokrasi ke jalur yang benar, diperlukan langkah-langkah konkret yang dapat membatasi praktik bagi-bagi jabatan dan memperkuat integritas pemerintahan. Beberapa solusi yang bisa dilakukan antara lain:
1. Penguatan Lembaga Pengawas
KPK harus dikembalikan ke fungsinya semula sebagai lembaga yang independen dan memiliki kewenangan penuh dalam pemberantasan korupsi.
Mahkamah Konstitusi dan lembaga peradilan harus lebih berani dalam menegakkan hukum dan menolak intervensi politik.
2. Reformasi Politik
Regulasi yang lebih ketat untuk mencegah politik dinasti harus ditegakkan dengan serius.
Sistem rekrutmen pejabat publik harus berbasis meritokrasi, bukan berdasarkan afiliasi politik atau hubungan keluarga.
3. Pendidikan Politik bagi Rakyat
Masyarakat harus lebih sadar akan hak-haknya dan berani menolak praktik politik uang serta politik dinasti.
Partisipasi rakyat dalam pengawasan kebijakan publik perlu ditingkatkan melalui berbagai platform demokrasi digital.
---
Kesimpulan
Fenomena bancakan jabatan dalam demokrasi Indonesia merupakan ancaman serius bagi keadilan sosial dan kesejahteraan rakyat. Dengan adanya praktik politik dinasti, pelemahan lembaga antikorupsi, dan meningkatnya klientelisme, demokrasi semakin kehilangan makna sejatinya.
Dari perspektif Marhaenisme, demokrasi seharusnya menjadi alat untuk memperjuangkan kesejahteraan rakyat kecil, bukan sekadar alat bagi segelintir elite untuk mempertahankan kekuasaan mereka. Oleh karena itu, diperlukan reformasi besar dalam sistem politik agar demokrasi benar-benar berfungsi untuk kepentingan rakyat banyak.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI