Kepemilikan umum, yang mencakup sumber daya alam, infrastruktur publik, dan aset-aset yang dimiliki bersama oleh masyarakat, merupakan fondasi penting bagi kesejahteraan suatu bangsa. Di Indonesia, konsep ini memiliki relevansi khusus, terutama ketika ditinjau melalui lensa ideologi Marhaenisme yang diperkenalkan oleh Soekarno. Marhaenisme menekankan pentingnya kemandirian ekonomi rakyat kecil dan keadilan sosial. Dalam konteks ini, negara memiliki peran krusial dalam melindungi kepemilikan umum untuk memastikan kesejahteraan bersama dan mencegah dominasi oleh segelintir elit atau korporasi besar.
Marhaenisme dan Kepemilikan Umum
Marhaenisme, yang berakar dari pemikiran Soekarno, lahir dari pengamatannya terhadap seorang petani bernama Marhaen di Jawa Barat. Meskipun memiliki alat produksi sendiri, petani tersebut tetap hidup dalam kemiskinan akibat sistem ekonomi yang tidak adil. Dari sini, Soekarno menyimpulkan bahwa rakyat kecil, meskipun memiliki alat produksi, tetap terpinggirkan oleh struktur ekonomi yang timpang. Marhaenisme kemudian berkembang menjadi ideologi yang menekankan kemandirian ekonomi, keadilan sosial, dan perlawanan terhadap imperialisme serta kapitalisme yang eksploitatif.
Dalam kerangka Marhaenisme, kepemilikan umum menjadi elemen vital. Sumber daya alam seperti tanah, air, dan hutan seharusnya dikelola untuk kepentingan bersama, bukan untuk keuntungan segelintir pihak. Negara, sebagai representasi kolektif rakyat, memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa aset-aset ini digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, sesuai dengan amanat Pasal 33 UUD 1945.
Tantangan Terkini dalam Melindungi Kepemilikan Umum
Namun, dalam praktiknya, perlindungan terhadap kepemilikan umum di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan. Salah satunya adalah konflik agraria yang terus terjadi. Data dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menunjukkan bahwa pada tahun 2022, terdapat lebih dari 200 kasus konflik agraria dengan ribuan hektar lahan yang disengketakan antara masyarakat dan perusahaan. Hal ini menunjukkan bahwa akses dan kontrol masyarakat terhadap sumber daya alam masih lemah, dan kepemilikan umum sering kali terancam oleh kepentingan korporasi besar.
Selain itu, kebijakan-kebijakan seperti Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law) menimbulkan kekhawatiran terkait potensi liberalisasi aset-aset publik. Fleksibilitas dalam perizinan lahan dan investasi yang ditawarkan oleh UU ini dikhawatirkan dapat mengancam kepemilikan umum dan memperparah ketimpangan ekonomi. Dari perspektif Marhaenisme, kebijakan semacam ini berpotensi mengabaikan prinsip keadilan sosial dan memberatkan rakyat kecil.
Peran Negara dalam Melindungi Kepemilikan Umum
Negara memiliki peran sentral dalam memastikan bahwa kepemilikan umum dikelola secara adil dan berkelanjutan. Hal ini dapat diwujudkan melalui beberapa langkah strategis:
1. Regulasi yang Pro-Rakyat: Menyusun dan menerapkan kebijakan yang memastikan bahwa pengelolaan sumber daya alam dan aset publik dilakukan dengan mempertimbangkan kepentingan rakyat banyak, bukan hanya keuntungan ekonomi semata.