Selain itu, penerapan Marhaenisme dalam transportasi tidak hanya soal penyediaan fasilitas fisik, tetapi juga menciptakan sistem yang lebih demokratis dan berkeadilan. Transportasi publik yang inklusif harus mempertimbangkan kebutuhan semua lapisan masyarakat, termasuk pekerja, mahasiswa, penyandang disabilitas, dan masyarakat berpenghasilan rendah. Oleh karena itu, kebijakan yang diterapkan harus melibatkan partisipasi aktif dari berbagai pihak, termasuk organisasi masyarakat sipil, akademisi, dan sektor swasta.
Tentu saja, implementasi konsep Marhaenisme dalam transportasi tidak lepas dari berbagai tantangan, seperti resistensi dari kelompok tertentu, keterbatasan anggaran, dan masalah birokrasi. Namun, dengan komitmen yang kuat dari pemerintah daerah dan dukungan masyarakat, solusi berbasis Marhaenisme dapat menjadi jalan keluar dari krisis transportasi publik yang saat ini dihadapi Kota Bandung.
Pada akhirnya, krisis transportasi bukan hanya persoalan infrastruktur, tetapi juga tentang bagaimana sebuah kota memberikan layanan yang adil dan berkualitas bagi seluruh warganya. Jika prinsip Marhaenisme diterapkan secara konsisten dalam perencanaan dan pengelolaan transportasi publik, Kota Bandung dapat menjadi contoh bagi daerah lain dalam membangun sistem transportasi yang berkeadilan, berkelanjutan, dan berpihak pada rakyat kecil.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI