Marhaenisme, sebagai ideologi yang diperkenalkan oleh Soekarno, menekankan pada kemandirian ekonomi rakyat kecil, distribusi kekayaan yang adil, serta pengelolaan sumber daya alam untuk kepentingan seluruh rakyat, bukan hanya segelintir elite. Prinsip-prinsip ini menjadi relevan dalam konteks revisi Undang-Undang Mineral dan Batu Bara (UU Minerba) yang saat ini sedang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Revisi UU Minerba yang tengah dirancang bertujuan untuk memberikan kesempatan lebih luas kepada berbagai elemen masyarakat, termasuk perguruan tinggi, organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan, serta Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dalam pengelolaan pertambangan. Dengan keterlibatan berbagai pihak ini, diharapkan keuntungan dari sektor pertambangan tidak hanya dinikmati oleh perusahaan besar dan investor asing, tetapi juga oleh rakyat kecil yang selama ini hanya menjadi penonton di negeri sendiri.
Namun, apakah revisi ini benar-benar mencerminkan semangat Marhaenisme? Ataukah ini hanya sekadar bentuk baru dari kapitalisme yang menyamar dengan wajah kerakyatan? Artikel ini akan membahas bagaimana revisi UU Minerba ini dapat dikaji melalui perspektif Marhaenisme serta berbagai tantangan dan risiko yang harus diantisipasi agar kebijakan ini benar-benar membawa manfaat bagi rakyat.
Pokok-Pokok Perubahan dalam Revisi UU Minerba
Pada 20 Januari 2025, Badan Legislasi (Baleg) DPR menyepakati perubahan keempat atas UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Terdapat empat poin utama yang diusulkan dalam revisi ini, yaitu:
1. Percepatan Hilirisasi Mineral dan Batu Bara
Pemerintah berupaya untuk mendorong program hilirisasi yang bertujuan meningkatkan nilai tambah dari sumber daya alam Indonesia. Dengan adanya hilirisasi, diharapkan Indonesia tidak hanya menjadi eksportir bahan mentah tetapi juga mampu mengolah dan menghasilkan produk bernilai tinggi.
2. Pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP) kepada Ormas Keagamaan
Salah satu perubahan yang cukup kontroversial adalah pemberian izin usaha pertambangan kepada ormas keagamaan. DPR berpendapat bahwa ormas dapat berperan dalam memastikan hasil pertambangan digunakan untuk kesejahteraan masyarakat. Namun, banyak pihak yang mempertanyakan kesiapan ormas dalam mengelola tambang, baik dari segi teknis maupun aspek transparansi pengelolaan keuangan.
3. Pemberian IUP kepada Perguruan Tinggi
Revisi ini juga mengizinkan perguruan tinggi dengan akreditasi minimal B untuk mengelola tambang. Salah satu alasan di balik kebijakan ini adalah untuk membantu pendanaan universitas dan mengurangi beban Uang Kuliah Tunggal (UKT) bagi mahasiswa. Namun, ada kekhawatiran bahwa pengelolaan tambang oleh perguruan tinggi dapat mengalihkan fokus akademik dari dunia pendidikan ke dunia bisnis.
4. Pemberian IUP untuk UMKM
Dengan memberikan akses kepada UMKM, pemerintah ingin memastikan bahwa sektor pertambangan dapat lebih inklusif dan memberikan manfaat langsung kepada rakyat kecil. Namun, UMKM yang mendapatkan izin akan dibatasi hanya boleh mengelola tambang dengan luas maksimal 2.500 hektare.
Marhaenisme dan Pengelolaan Sumber Daya Alam
Dalam perspektif Marhaenisme, revisi UU Minerba ini seharusnya diarahkan untuk menghapus ketimpangan struktural yang selama ini terjadi dalam sektor pertambangan. Prinsip utama Marhaenisme adalah bahwa sumber daya alam harus dikelola secara mandiri oleh rakyat untuk kepentingan rakyat. Dengan demikian, kebijakan ini harus menjamin bahwa manfaat pertambangan dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat, bukan hanya segelintir elite yang memiliki akses ke modal besar.
Di satu sisi, pemberian izin kepada UMKM dan perguruan tinggi dapat menjadi langkah positif dalam mendukung kemandirian ekonomi rakyat. Jika dikelola dengan baik, kebijakan ini dapat membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat kecil, menciptakan lapangan pekerjaan baru, serta mengurangi ketimpangan sosial yang selama ini terjadi dalam industri pertambangan.
Namun, ada beberapa aspek yang perlu dikritisi agar revisi ini tidak justru menciptakan ketimpangan baru:
1. Kapasitas dan Kompetensi Pengelola Tambang
Industri pertambangan membutuhkan keahlian khusus dalam aspek teknis, manajerial, dan lingkungan. Jika ormas keagamaan, perguruan tinggi, dan UMKM tidak memiliki kapasitas yang memadai, dikhawatirkan pengelolaan tambang akan menjadi tidak efisien atau bahkan berpotensi merusak lingkungan lebih parah dari sebelumnya.
2. Mekanisme Pengawasan dan Transparansi
Keterlibatan lebih banyak pihak dalam industri pertambangan memerlukan sistem pengawasan yang lebih ketat untuk mencegah korupsi dan penyalahgunaan wewenang. Selama ini, banyak kasus di mana izin tambang diberikan kepada pihak-pihak tertentu hanya sebagai kedok bagi kepentingan kelompok tertentu.
3. Dampak Lingkungan yang Harus Diantisipasi
Data dari Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) menunjukkan bahwa hingga 2025, masih ada lebih dari 1.735 lubang tambang yang belum direklamasi, yang mengakibatkan berbagai permasalahan lingkungan. Lubang-lubang ini telah menyebabkan 36 kasus kematian akibat tenggelam. Jika pengelolaan tambang diberikan kepada lebih banyak pihak tanpa sistem pengawasan yang memadai, risiko bencana lingkungan dapat semakin meningkat.
Antara Harapan dan Kekhawatiran
Di satu sisi, revisi UU Minerba ini membuka peluang besar bagi rakyat kecil untuk ikut serta dalam pengelolaan sumber daya alam dan tidak hanya menjadi penonton dalam eksploitasi kekayaan bumi Indonesia. Namun, tanpa perencanaan dan pengawasan yang ketat, kebijakan ini juga dapat menjadi bumerang yang merugikan rakyat itu sendiri.
Marhaenisme mengajarkan bahwa kekayaan negara harus dikelola oleh rakyat dan untuk rakyat. Oleh karena itu, jika revisi UU Minerba ini benar-benar ingin dijalankan sesuai dengan semangat Marhaenisme, maka beberapa langkah konkret harus dilakukan, seperti:
Meningkatkan kapasitas teknis dan manajerial UMKM serta perguruan tinggi dalam mengelola tambang.
Membangun sistem pengawasan yang lebih transparan dan melibatkan masyarakat dalam pengelolaan tambang.
Menjaga keseimbangan antara eksploitasi sumber daya dan keberlanjutan lingkungan.
Jika revisi ini dapat dijalankan dengan baik, bukan tidak mungkin sektor pertambangan Indonesia dapat menjadi alat untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat, sebagaimana cita-cita Marhaenisme yang diwariskan oleh Bung Karno. Namun, jika hanya menjadi alat bagi kepentingan kelompok tertentu, maka revisi ini tidak akan lebih dari sekadar kebijakan populis yang berujung pada kekecewaan rakyat.
Revisi UU Minerba harus dijalankan dengan prinsip keadilan dan kesejahteraan bersama, bukan hanya untuk mengakomodasi kepentingan segelintir elite. Hanya dengan demikian, semangat Marhaenisme benar-benar dapat diwujudkan dalam kebijakan pertambangan Indonesia.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI