Dalam sistem demokrasi modern, salah satu elemen yang sangat penting adalah adanya mekanisme kontrol terhadap kekuasaan. Demokrasi bukan hanya tentang kebebasan memilih pemimpin, tetapi juga tentang tanggung jawab semua pihak---baik pers, masyarakat, maupun lembaga-lembaga negara---untuk memastikan bahwa para penguasa menjalankan mandatnya dengan baik. Koreksi terhadap penguasa bukanlah tanda perlawanan, melainkan sebuah kewajiban moral dan konstitusional untuk menjaga keadilan, transparansi, dan keberlanjutan demokrasi.
Pentingnya Koreksi Penguasa dalam Demokrasi
Penguasa, baik itu presiden, menteri, gubernur, atau pejabat publik lainnya, merupakan pelayan masyarakat. Mereka mendapatkan mandat untuk memimpin melalui proses demokrasi yang penuh dengan harapan rakyat. Namun, sejarah menunjukkan bahwa kekuasaan yang tidak diawasi sering kali berujung pada penyalahgunaan wewenang, korupsi, atau kebijakan yang merugikan masyarakat.
Sebagai contoh, laporan dari Transparency International pada 2023 menunjukkan bahwa indeks persepsi korupsi di Indonesia masih berada di angka 34 dari skala 100, menandakan tingkat korupsi yang signifikan. Salah satu penyebab utama adalah lemahnya kontrol dan pengawasan terhadap kebijakan dan tindakan pejabat publik. Dalam konteks ini, koreksi terhadap penguasa menjadi sangat krusial untuk menghindari terjadinya penyelewengan.
Peran Pers Sebagai Pengawas Kekuasaan
Salah satu pilar utama demokrasi adalah pers yang bebas dan independen. Pers memiliki tanggung jawab untuk menyediakan informasi yang akurat dan menjadi alat kontrol sosial terhadap tindakan dan kebijakan penguasa. Hal ini ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, yang menyatakan bahwa pers berfungsi untuk memberikan kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum.
Namun, kenyataannya tidak selalu sesuai harapan. Sebuah laporan dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) pada 2024 menunjukkan bahwa tekanan terhadap kebebasan pers di Indonesia masih cukup tinggi, dengan meningkatnya kasus intimidasi terhadap jurnalis yang mengungkap penyalahgunaan wewenang. Bahkan, beberapa media besar kerap dituduh berpihak kepada kepentingan oligarki atau kekuasaan, sehingga kehilangan independensinya dalam mengkritik kebijakan pemerintah.
Koreksi penguasa melalui pers bukan sekadar menyampaikan kritik, tetapi juga meluruskan informasi yang keliru. Dalam dunia yang semakin didominasi oleh berita palsu (hoaks), peran pers sebagai penyedia informasi yang akurat menjadi semakin penting. Sayangnya, beberapa media sering mengabaikan Pasal 5 ayat 3 UU Pers, yang mewajibkan mereka untuk melayani hak koreksi jika ada berita yang tidak benar.
Masyarakat dan Hak Koreksi
Selain pers, masyarakat juga memiliki hak dan kewajiban untuk ikut mengoreksi penguasa. Dalam demokrasi, setiap warga negara berhak untuk menyampaikan pendapat, termasuk mengkritik kebijakan atau tindakan pemerintah yang dianggap tidak tepat. Hak ini dijamin oleh Pasal 28E ayat 3 UUD 1945, yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
Namun, hak ini sering kali dihadapkan pada tantangan. Dalam beberapa kasus, kritik masyarakat terhadap penguasa justru berujung pada ancaman hukum atau kriminalisasi. Data dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) pada 2024 mencatat bahwa ada 79 kasus kriminalisasi terhadap aktivis atau warga yang mengkritik kebijakan publik melalui media sosial. Fenomena ini menunjukkan adanya paradoks dalam praktik demokrasi di Indonesia, di mana kritik yang seharusnya menjadi bagian dari mekanisme kontrol malah dianggap sebagai ancaman.
Tantangan Koreksi Penguasa
Mengoreksi penguasa bukanlah tugas yang mudah. Ada beberapa tantangan utama yang sering dihadapi oleh masyarakat, pers, dan organisasi pengawas, di antaranya:
1. Kurangnya Independensi Media
Banyak media besar di Indonesia didanai oleh kelompok-kelompok tertentu yang memiliki kepentingan politik atau bisnis. Akibatnya, pemberitaan mereka cenderung bias dan tidak berani mengkritik penguasa yang memiliki hubungan dengan pemilik media.
2. Kriminalisasi Kritik
Seperti yang telah disebutkan, kritik terhadap penguasa sering kali dianggap sebagai ancaman. Dalam beberapa kasus, pengkritik dituduh melakukan pencemaran nama baik atau penyebaran hoaks, meskipun kritik tersebut didasarkan pada fakta.
3. Minimnya Edukasi Publik
Sebagian besar masyarakat masih kurang memahami pentingnya mengawasi dan mengoreksi penguasa. Budaya paternalistik yang kuat di Indonesia membuat banyak orang enggan untuk mempertanyakan keputusan pemimpin, bahkan jika keputusan tersebut merugikan.
4. Kurangnya Sanksi bagi Pers
Dalam kasus di mana pers gagal menjalankan kewajibannya untuk mengoreksi berita yang keliru, tidak ada sanksi yang cukup tegas. Hal ini membuat beberapa media tidak serius dalam menanggapi hak koreksi dari masyarakat.
Solusi untuk Memperkuat Koreksi Penguasa
Agar kewajiban mengoreksi penguasa dapat berjalan dengan baik, diperlukan langkah-langkah konkret, antara lain:
1. Penguatan Regulasi
Pemerintah perlu meninjau ulang aturan terkait pers dan kebebasan berpendapat untuk memastikan bahwa hak koreksi dan kewajiban koreksi dilaksanakan dengan benar. Selain itu, sanksi yang lebih tegas perlu diterapkan untuk media yang melanggar kewajiban ini.
2. Peningkatan Literasi Media
Masyarakat perlu dididik tentang cara mengidentifikasi informasi yang benar dan cara menyampaikan kritik yang konstruktif. Kampanye literasi media dapat dilakukan melalui sekolah, komunitas, dan platform digital.
3. Perlindungan bagi Pengkritik
Pemerintah harus menjamin bahwa setiap warga negara yang menyampaikan kritik tidak akan menghadapi ancaman hukum atau intimidasi. Hal ini dapat dilakukan dengan memperkuat perlindungan hukum bagi aktivis, jurnalis, dan masyarakat umum.
4. Independensi Pers
Media perlu menjaga independensinya dari kepentingan politik atau ekonomi. Salah satu cara untuk mencapainya adalah dengan memperkuat peran organisasi seperti Dewan Pers dalam mengawasi praktik jurnalistik di Indonesia.
Kesimpulan
Koreksi terhadap penguasa adalah bagian penting dari sistem demokrasi yang sehat. Tanpa mekanisme kontrol yang kuat, kekuasaan cenderung disalahgunakan, dan rakyat yang akan menanggung akibatnya. Oleh karena itu, pers, masyarakat, dan lembaga negara harus bekerja sama untuk memastikan bahwa penguasa menjalankan mandatnya dengan transparan dan akuntabel. Dalam konteks ini, hak koreksi dan kewajiban koreksi menjadi instrumen yang sangat penting untuk menjaga keseimbangan kekuasaan.
Dengan melaksanakan kewajiban koreksi secara konsisten, kita tidak hanya melindungi hak rakyat, tetapi juga memperkuat fondasi demokrasi yang telah dibangun dengan susah payah. Demokrasi bukan hanya tentang memilih, tetapi juga tentang memastikan bahwa pilihan kita tidak melenceng dari jalur yang seharusnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H