Di panggung gelap demokrasi,
tirai janji perlahan terkoyak,
suara rakyat dibungkam,
digantikan bisik lembut para elite,
seperti angin yang bersekongkol dengan senja,
menghapus jejak langkah sang matahari.
Kursi-kursi megah di balik gedung marmer,
melahirkan titah tanpa nyawa,
seperti boneka kayu
yang kehilangan tali penggerak,
hanya terpajang dalam teater sunyi,
menanti perintah dari tangan tak terlihat.
Wacana pilkada tak langsung,
adalah mentari yang dicuri malam,
cahayanya redup,
membekukan harapan yang dahulu menghangatkan,
bagi desa-desa dan kota-kota
yang kini tersesat dalam labirin kekuasaan.
Rakyat, engkau laut yang bergelora,
namun badaimu diredam tembok tirani,
mereka ingin mengubah arusmu,
mengarahkannya ke pelabuhan pribadi,
menenggelamkan kapal-kapal impianmu
di dasar keserakahan mereka.
Di mana suara jiwa yang dulu lantang?
Di mana nyanyian merdeka dari bibir nelayan?
Kini, demokrasi adalah lukisan tanpa warna,
kanvasnya retak oleh ambisi,
dan tinta hitam menyelimuti segalanya,
menghapus bayangan masa depan.
Wahai mereka yang duduk di singgasana tinggi,
ingatlah, angin dapat berubah arah,
laut yang kalian kikis
akan mengamuk dengan gelombang baru,
maka sebelum waktu menelan,
dengar dan lihatlah,
suara rakyat adalah mercusuar
yang tak dapat kalian padamkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H