Negeri ini, ladang subur janji,
Tempat rakyat menanam mimpi,
Namun kini angin membawa kabar pahit,
PPN 12%---beban yang tak henti menghimpit.
Seperti matahari yang mencuri embun pagi,
Ia merampas sejuk dari nafas hari,
Setiap langkah di pasar rakyat kecil,
Adalah tangis yang diam, sunyi menggigil.
Apakah pajak ini lentera pembangunan?
Atau bara yang membakar dinding harapan?
Sementara meja-meja kekuasaan,
Penuh pesta, penuh kekenyangan.
Rakyat, pohon yang daunnya gugur,
Dirundung pajak yang kian kabur,
Tak lagi merasakan hujan janji,
Hanya badai angka yang menenggelamkan bumi.
Oh, kebijakan yang bernama kemajuan,
Adakah ia mendengar jeritan di gang sempit?
Adakah ia membaca puisi nestapa,
Yang ditulis di atas meja warung kecil?
PPN ini seperti bayang-bayang malam,
Membayangi sisa padi dalam lumbung,
Dan saat subuh datang,
Apa yang tersisa? Hanya perih yang mendalam.
Bukan pajak yang kami tolak,
Namun keadilan yang kami teriak,
Kapan beban ini menjadi sayap?
Kapan anggaran menjadi penyembuh luka yang nyata?
Untuk setiap sen yang kau pungut,
Ada tetes keringat yang berdesir pilu,
Negeri ini tak butuh pajak semata,
Tapi kepastian bahwa rakyat tetap bermakna.
PPN 12%, kebijakan tanpa hati,
Menghisap denyut dari denyut kami,
Semoga negeri ini sadar suatu hari,
Bahwa kemakmuran sejati, lahir dari empati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H