Terpilihnya kembali Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat pada pemilu 2024 telah memicu berbagai spekulasi mengenai masa depan hubungan transatlantik antara AS dan Uni Eropa. Selama masa jabatannya yang pertama (2017--2021), Trump dikenal dengan kebijakan "America First" yang sering kali dianggap mengabaikan kepentingan sekutu tradisional Amerika, termasuk negara-negara Uni Eropa. Ketegangan yang timbul dari kebijakan ini mencakup isu perdagangan, perubahan iklim, keamanan, dan geopolitik, yang kesemuanya berdampak pada stabilitas hubungan internasional. Dengan Trump kembali menduduki Gedung Putih, tantangan lama yang sempat mereda selama kepemimpinan Joe Biden kini berpotensi muncul kembali dengan eskalasi yang lebih besar.
Kebijakan Perdagangan yang Proteksionis
Salah satu kebijakan yang dikhawatirkan oleh Uni Eropa adalah pendekatan proteksionis Trump dalam bidang perdagangan. Selama masa jabatan pertamanya, Trump memberlakukan tarif pada baja dan aluminium impor, termasuk dari Eropa. Ancaman tarif tambahan, terutama pada sektor otomotif Eropa, menciptakan ketegangan dalam hubungan ekonomi antara kedua belah pihak. Bahkan, Trump pernah menyebut Uni Eropa sebagai "musuh dagang" AS, menyamakan mereka dengan Cina dalam hal ancaman ekonomi terhadap kepentingan Amerika.
Dalam kampanye pemilu 2024, Trump kembali mengusung wacana tarif universal hingga 10-20% untuk semua barang impor ke AS, serta tarif hingga 60% untuk produk-produk Cina. Meskipun target utama kebijakan ini adalah Cina, dampaknya bisa meluas ke negara-negara Eropa yang memiliki hubungan dagang besar dengan AS. Uni Eropa adalah salah satu mitra dagang terbesar AS, dengan total nilai perdagangan mencapai lebih dari $1 triliun pada tahun 2023. Ancaman perang dagang kembali menjadi perhatian utama bagi ekonomi kedua belah pihak, terutama di tengah perlambatan ekonomi global pasca-pandemi.
Ketidaksepahaman dalam Isu Perubahan Iklim
Pendekatan Trump terhadap perubahan iklim juga menjadi salah satu isu utama yang memengaruhi hubungan AS-Uni Eropa. Selama masa jabatan pertamanya, Trump menarik AS keluar dari Perjanjian Paris, langkah yang sangat dikritik oleh Uni Eropa. Sementara Eropa terus memimpin dalam agenda perubahan iklim melalui Green Deal dan transisi energi bersih, Trump justru kembali mempromosikan penggunaan bahan bakar fosil dan memperlonggar regulasi lingkungan di dalam negeri.
Terpilihnya kembali Trump mengancam kemajuan diplomasi iklim global yang telah dibangun selama kepemimpinan Joe Biden. Uni Eropa yang memiliki ambisi untuk mencapai netralitas karbon pada tahun 2050 kemungkinan akan menghadapi tantangan besar dalam mencari dukungan dari AS di bawah kepemimpinan Trump. Ketiadaan koordinasi ini tidak hanya melemahkan posisi kolektif dunia Barat dalam menangani krisis iklim, tetapi juga memperkuat posisi negara-negara seperti Cina dan India yang cenderung lebih lambat dalam adopsi kebijakan ramah lingkungan.
Ketegangan dalam Aliansi Keamanan NATO
Di bidang keamanan, kebijakan luar negeri Trump selama masa jabatan pertamanya telah memicu ketegangan dalam hubungan transatlantik. Trump berulang kali mengkritik negara-negara anggota NATO di Eropa karena dianggap tidak memenuhi kewajiban mereka untuk menyumbang 2% dari PDB ke dalam anggaran pertahanan aliansi. Bahkan, Trump sempat mengancam akan menarik AS dari NATO, yang menimbulkan kekhawatiran mengenai stabilitas keamanan Eropa, terutama di tengah ancaman Rusia di kawasan timur.
Dengan kembalinya Trump, Uni Eropa harus bersiap menghadapi tekanan yang lebih besar untuk meningkatkan kontribusi mereka terhadap NATO. Selain itu, pendekatan unilateral Trump dalam kebijakan luar negeri, seperti penarikan pasukan AS dari Suriah dan Afghanistan tanpa konsultasi dengan sekutu, menjadi preseden yang menunjukkan bagaimana Trump dapat mengambil keputusan sepihak tanpa memperhatikan kepentingan kolektif. Dalam konteks konflik Rusia-Ukraina yang masih berlangsung, kerjasama keamanan yang erat antara AS dan Uni Eropa sangat diperlukan, tetapi gaya kepemimpinan Trump bisa menjadi penghalang bagi koordinasi ini.
Reaksi Pemimpin Uni Eropa
Meskipun terdapat kekhawatiran yang besar, pemimpin Uni Eropa tetap menyampaikan ucapan selamat kepada Trump atas kemenangannya. Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen, dalam pernyataan resminya, menekankan pentingnya menjaga kemitraan transatlantik yang kuat dan berharap dapat bekerja sama dalam berbagai isu global. Namun, di balik ucapan formal ini, terdapat keraguan mengenai kemampuan kedua belah pihak untuk memperbaiki hubungan yang sudah retak.
Sejumlah negara Eropa seperti Jerman dan Prancis, yang selama ini memimpin inisiatif strategis Uni Eropa, kemungkinan akan meningkatkan usaha mereka untuk mengurangi ketergantungan pada AS. Bahkan, ada desakan dari dalam Uni Eropa untuk memperkuat pertahanan Eropa secara mandiri guna mengurangi risiko ketidakpastian yang ditimbulkan oleh perubahan kebijakan AS.
Dampak Ekonomi Global
Kebijakan Trump tidak hanya berisiko pada hubungan AS-Uni Eropa tetapi juga membawa implikasi terhadap ekonomi global. Proteksionisme perdagangan yang diusung Trump dapat memicu fragmentasi dalam sistem perdagangan internasional. Dengan adanya ketegangan dagang antara dua kawasan ekonomi terbesar dunia, yakni AS dan Uni Eropa, rantai pasokan global dapat terganggu, yang pada akhirnya berdampak pada pertumbuhan ekonomi dunia.
Investor global juga khawatir terhadap volatilitas pasar keuangan yang dapat terjadi akibat kebijakan Trump yang sering kali tidak dapat diprediksi. Ketidakpastian ini membuat banyak negara, termasuk di Eropa, mulai mencari alternatif untuk mengurangi ketergantungan pada AS, misalnya dengan memperluas hubungan ekonomi dengan Asia dan Afrika.
Strategi Uni Eropa ke Depan
Menghadapi tantangan ini, Uni Eropa perlu mengambil langkah strategis untuk menjaga stabilitasnya. Salah satu strategi utama adalah memperkuat solidaritas internal di antara negara-negara anggotanya. Diversifikasi hubungan perdagangan dengan negara-negara lain seperti Cina, India, dan negara-negara Asia-Pasifik juga menjadi langkah yang penting untuk mengurangi ketergantungan pada pasar AS.
Selain itu, Uni Eropa harus meningkatkan kemampuan pertahanan mereka untuk mengantisipasi kemungkinan lemahnya dukungan dari AS di bawah Trump. Rencana pembentukan pasukan pertahanan Eropa yang sempat dibahas beberapa tahun lalu mungkin akan kembali menjadi prioritas.
Kesimpulan
Kembalinya Donald Trump sebagai Presiden AS membawa tantangan signifikan bagi hubungan AS-Uni Eropa. Kebijakan proteksionisme perdagangan, sikap skeptis terhadap perubahan iklim, dan pendekatan unilateral dalam diplomasi menjadi tantangan utama yang harus dihadapi oleh Uni Eropa. Namun, Uni Eropa memiliki peluang untuk memperkuat solidaritas internal, membangun hubungan perdagangan baru, dan meningkatkan kapabilitas mandiri di berbagai sektor.
Dengan langkah strategis yang tepat, Uni Eropa dapat mengurangi dampak negatif dari kebijakan Trump sekaligus memperkuat posisinya sebagai kekuatan global yang stabil dan independen. Hanya dengan demikian, hubungan AS-Uni Eropa dapat tetap berjalan, meski dengan dinamika yang lebih kompleks.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H