Mohon tunggu...
dimas muhammad erlangga
dimas muhammad erlangga Mohon Tunggu... Mahasiswa - Aktivis GmnI

Baca Buku Dan Jalan Jalan Live In

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Sosio-Demokrasi Bung Karno Dan Wacana Pilkada Tidak Langsung

14 Desember 2024   06:52 Diperbarui: 14 Desember 2024   06:52 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosio-Demokrasi Bung Karno dan Wacana Pilkada Tidak Langsung

Wacana mengenai pengembalian mekanisme pemilihan kepala daerah (pilkada) dari sistem langsung ke sistem tidak langsung, yakni melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), kembali muncul ke permukaan. Usulan ini menjadi salah satu isu politik yang menarik perhatian banyak pihak, mulai dari pengamat politik hingga masyarakat umum. Salah satu alasan yang sering dikemukakan adalah tingginya biaya politik dalam sistem pilkada langsung, yang disebut-sebut dapat menyebabkan praktik korupsi dan politik uang. Namun, wacana ini memicu perdebatan panjang, terutama dalam kaitannya dengan demokrasi yang telah diperjuangkan sejak reformasi 1998.

Pilkada langsung pertama kali diterapkan pada 2005, menggantikan sistem pemilihan melalui DPRD yang dianggap kurang akuntabel. Dengan pilkada langsung, masyarakat memiliki hak untuk memilih pemimpin mereka secara langsung, memberikan ruang lebih besar bagi partisipasi politik rakyat. Sistem ini merupakan salah satu capaian demokrasi yang signifikan setelah era reformasi, sejalan dengan prinsip kedaulatan rakyat yang terkandung dalam sila keempat Pancasila, "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan."

Namun, wacana pengembalian ke sistem pemilihan tidak langsung telah bergulir sejak beberapa tahun terakhir. Pemerintah, melalui pernyataan Menteri Hukum Supratman Andi Agtas, menyatakan bahwa pengkajian terhadap mekanisme ini tidak melanggar konstitusi, sebab Undang-Undang Dasar 1945 tidak secara eksplisit menyebutkan bahwa pemilihan kepala daerah harus dilakukan langsung. Dalam pandangan pemerintah, mekanisme ini memiliki kelebihan dalam menekan biaya politik yang tinggi.

Fakta menunjukkan bahwa biaya politik dalam pilkada langsung memang cukup besar. Berdasarkan data dari Komisi Pemilihan Umum (KPU), rata-rata kandidat kepala daerah membutuhkan dana miliaran rupiah untuk berkampanye, termasuk untuk kebutuhan logistik, iklan, hingga operasional tim pemenangan. Biaya tinggi ini sering kali menjadi pemicu praktik politik uang dan korupsi, baik selama proses pilkada maupun setelah kandidat terpilih.

Di sisi lain, kritik terhadap wacana ini juga banyak bermunculan. Pengamat politik Titi Anggraini menyatakan bahwa mekanisme pemilihan tidak langsung berpotensi melemahkan demokrasi dan kedaulatan rakyat. Dalam sistem ini, kepala daerah akan dipilih oleh anggota DPRD, yang sering kali terpengaruh oleh kepentingan politik partai. Hal ini membuka peluang lebih besar terhadap praktik transaksional, di mana kandidat kepala daerah "membeli" dukungan politik dari anggota DPRD.

Selain itu, Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusannya telah menyatakan bahwa mekanisme pilkada langsung merupakan bagian dari prinsip demokrasi yang harus dijaga. Jika pemerintah ingin mengubah mekanisme ini, maka perubahan tersebut harus berdasarkan alasan yang sangat kuat dan mempertimbangkan dampak yang luas terhadap kualitas demokrasi di Indonesia.

Dalam perspektif sejarah, wacana ini dapat dikaitkan dengan praktik sosio-demokrasi yang pernah diterapkan Bung Karno pada era Demokrasi Terpimpin (1959-1966). Dalam sistem tersebut, Soekarno mengkritik keras demokrasi parlementer ala Barat yang dianggapnya tidak sesuai dengan nilai-nilai Indonesia. Ia mengusulkan model demokrasi yang lebih menekankan pada permusyawaratan dan gotong royong, dengan presiden sebagai pemimpin utama.

Namun, penerapan Demokrasi Terpimpin juga memiliki kelemahan signifikan. Sentralisasi kekuasaan di tangan presiden melemahkan peran legislatif, sementara partisipasi rakyat dalam politik menjadi terbatas. Era ini sering kali dianggap sebagai masa "otoritarianisme terkontrol" yang mengesampingkan prinsip-prinsip dasar demokrasi. Pelajaran dari era ini mengajarkan bahwa demokrasi yang sehat membutuhkan keseimbangan kekuasaan dan ruang yang cukup bagi rakyat untuk terlibat secara langsung.

Dalam konteks pilkada, prinsip ini tetap relevan. Pilkada langsung memberikan peluang bagi masyarakat untuk secara aktif menentukan pemimpin mereka, sehingga akuntabilitas pemimpin kepada rakyat tetap terjaga. Sementara itu, mekanisme pemilihan melalui DPRD dinilai dapat menciptakan jarak antara rakyat dan pemimpin mereka.

Pihak yang mendukung wacana pilkada tidak langsung sering kali menggunakan argumentasi efisiensi. Mereka berpendapat bahwa pemilihan langsung memakan biaya besar, baik bagi kandidat maupun negara. Namun, efisiensi seharusnya tidak menjadi satu-satunya pertimbangan dalam menentukan mekanisme demokrasi. Demokrasi adalah tentang memberikan ruang bagi rakyat untuk menentukan masa depan mereka, meskipun hal ini memerlukan biaya dan upaya yang tidak sedikit.

Selain itu, pengurangan biaya politik tidak serta-merta terwujud dengan mengembalikan mekanisme pemilihan ke DPRD. Sebaliknya, hal ini justru dapat membuka peluang lebih besar bagi praktik politik transaksional, yang pada akhirnya akan membebani rakyat melalui kebijakan-kebijakan yang tidak berpihak pada mereka.

Sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, Indonesia perlu menjaga capaian-capaian demokrasi yang telah diraih dengan susah payah. Pilkada langsung adalah salah satu wujud nyata dari demokrasi partisipatif, di mana rakyat memiliki peran langsung dalam menentukan pemimpin mereka. Meskipun terdapat tantangan, seperti politik uang dan biaya tinggi, solusi atas masalah ini seharusnya difokuskan pada penguatan regulasi, pendidikan politik, dan pengawasan yang lebih ketat, bukan dengan mengubah mekanisme yang sudah ada.

Wacana pilkada tidak langsung juga perlu dilihat dalam konteks yang lebih luas, yaitu bagaimana Indonesia membangun demokrasi yang berkualitas. Dalam hal ini, Pancasila sebagai dasar negara memberikan panduan yang jelas. Demokrasi yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila adalah demokrasi yang berakar pada kedaulatan rakyat, bukan pada dominasi elit politik.

Dengan demikian, langkah terbaik adalah menjaga mekanisme pilkada langsung sambil terus memperbaiki kelemahannya. Penguatan institusi demokrasi, peningkatan transparansi, dan pendidikan politik bagi rakyat adalah kunci untuk menciptakan sistem pilkada yang lebih baik. Keputusan untuk mengubah mekanisme pilkada harus didasarkan pada kajian yang mendalam, bukan sekadar pertimbangan efisiensi atau tekanan politik.

Sejarah telah menunjukkan bahwa demokrasi yang kuat membutuhkan komitmen dan partisipasi semua pihak, termasuk rakyat. Dalam semangat sosio-demokrasi Bung Karno, rakyat harus tetap menjadi pusat dari segala keputusan politik, termasuk dalam memilih pemimpin mereka. Pilkada langsung, meskipun tidak sempurna, adalah salah satu cara terbaik untuk memastikan prinsip tersebut tetap terwujud.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun