Meski tampak berseberangan, Trump dan Putin memiliki banyak kesamaan dalam pendekatan mereka terhadap kekuasaan. Keduanya memanfaatkan populisme untuk memobilisasi dukungan, dengan menekankan narasi "kami versus mereka." Bagi Trump, "mereka" adalah imigran ilegal, China, dan politisi Demokrat; sementara bagi Putin, "mereka" adalah NATO, Ukraina, dan aktivis liberal.
Keduanya juga mengadopsi pendekatan unilateral dalam kebijakan luar negeri. Trump sering mengabaikan aliansi internasional, sementara Putin dengan terang-terangan mengabaikan norma-norma internasional demi melindungi apa yang ia sebut sebagai "kepentingan Rusia." Hal ini menciptakan ketegangan global yang berdampak pada stabilitas geopolitik.
Lebih lanjut, gaya kepemimpinan keduanya sering kali dipengaruhi oleh narsisme politik. Trump dikenal karena keinginannya untuk selalu menjadi pusat perhatian, sering kali menggunakan media sosial untuk menyerang lawan politiknya. Di sisi lain, Putin memanfaatkan citra dirinya sebagai pemimpin yang tangguh dan tidak kenal takut, sering kali terlihat dalam foto-foto propaganda yang menggambarkannya sedang berburu atau mengendarai kuda.
Dampak Kebijakan terhadap Masyarakat
Trump dan Putin sama-sama menghadapi kritik karena kebijakan mereka cenderung mengorbankan kesejahteraan rakyat. Kebijakan Trump terhadap imigran telah menyebabkan perpecahan sosial, sementara tarif tinggi terhadap barang impor memperburuk inflasi. Di Rusia, kebijakan perang Putin menyebabkan penurunan drastis dalam standar hidup, dengan ribuan warga terpaksa meninggalkan negara itu untuk mencari peluang di luar negeri.
Dampak ini tidak hanya dirasakan di dalam negeri tetapi juga meluas ke dunia internasional. Kebijakan proteksionisme Trump memperburuk hubungan perdagangan global, sementara perang yang dipicu Putin di Ukraina menyebabkan krisis energi dan pangan yang memengaruhi negara-negara berkembang.
Kesimpulan: Pemimpin yang Sama dengan Nama Berbeda
Pada akhirnya, Donald Trump dan Vladimir Putin adalah dua sisi mata uang yang sama. Meski berbeda konteks, gaya kepemimpinan dan kebijakan mereka memiliki pola yang serupa: menggunakan kekuasaan untuk memperkuat posisi pribadi, sambil mengorbankan kepentingan masyarakat luas dan stabilitas global.
Dalam dunia yang semakin kompleks, gaya kepemimpinan seperti ini bukanlah solusi. Tantangan abad ke-21---seperti perubahan iklim, ketidaksetaraan global, dan konflik bersenjata---memerlukan pemimpin yang berpikiran terbuka, kolaboratif, dan berfokus pada keberlanjutan. Namun, selama politik populisme masih mendominasi, dunia mungkin terus terjebak dalam siklus ketidakpastian dan konflik yang tak kunjung usai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H