Ketegangan politik antara PDI-Perjuangan (PDI-P) dan mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjadi sorotan utama menjelang Pemilu 2024 dan Pilkada 2024 lalu. Konflik ini semakin mencuat setelah Gibran Rakabuming Raka, putra Jokowi, dicalonkan sebagai calon wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto. Langkah ini dianggap sebagai tantangan langsung terhadap PDI-P yang mengusung Ganjar Pranowo sebagai calon presiden pada Pemilu 14 Februari yang lalu. Pertanyaannya, bagaimana rakyat marhaen harus menyikapi perseteruan politik ini?
### **Akar Konflik: Sejarah Ketegangan Jokowi dan PDI-P**
Hubungan antara Jokowi dan PDI-P telah lama diwarnai dinamika. Sebagai figur yang diusung PDI-P sejak Pilkada Solo hingga dua kali Pilpres, Jokowi tetap dianggap kurang mengakar secara ideologis dalam tubuh partai. Dalam banyak kesempatan, Jokowi mengambil langkah politik yang dianggap berseberangan dengan garis kebijakan PDI-P. Salah satu contohnya adalah pembentukan Koalisi Indonesia Maju (KIM) yang mendukung Prabowo Subianto, sementara PDI-P tetap setia pada Ganjar dalam Pilpres lalu
Ketegangan ini mencapai puncaknya ketika Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan terkait batas usia calon wakil presiden, yang memungkinkan Gibran untuk maju sebagai cawapres. Banyak yang menduga bahwa keputusan ini dipengaruhi oleh intervensi politik dari lingkaran kekuasaan Jokowi. PDI-P memandang langkah ini sebagai pengkhianatan terhadap soliditas partai dan basis ideologis yang mereka perjuangkan.
### **Implikasi Politik untuk PDI-P dan Jokowi**
Perpecahan ini tidak hanya memengaruhi citra Jokowi dan PDI-P, tetapi juga berdampak pada stabilitas politik nasional. Sebagai partai yang menjadi kendaraan politik utama Jokowi, PDI-P menghadapi tantangan besar untuk menjaga kepercayaan pemilih. Di sisi lain, Jokowi harus menghadapi kritik atas tindakannya yang dianggap lebih mengutamakan kepentingan pribadi dan keluarganya dibandingkan loyalitas kepada partai yang telah membesarkannya.
PDI-P kini menghadapi dilema besar. Mereka harus memastikan bahwa Partai Berlambang Banteng Bulat itu mendapatkan dukungan penuh, sekaligus mengantisipasi kemungkinan fragmentasi suara akibat popularitas Jokowi yang tetap tinggi di kalangan rakyat kecil. Dalam konteks ini, manuver politik Jokowi dan Gibran berpotensi melemahkan basis dukungan PDI-P di akar rumput, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur, yang selama ini menjadi lumbung suara mereka.
### **Dilema Rakyat Marhaen**
Rakyat marhaen, yang menjadi basis utama pendukung PDI-P, kini berada di persimpangan jalan. Di satu sisi, mereka memiliki kesetiaan ideologis terhadap PDI-P sebagai partai yang memperjuangkan nilai-nilai kerakyatan dan Soekarnoisme. Di sisi lain, mereka sulit mengabaikan figur Jokowi yang telah memberikan banyak kontribusi nyata, terutama di sektor infrastruktur dan pembangunan desa.
Dalam situasi seperti ini, rakyat marhaen harus berpikir kritis. Pilihan politik mereka harus didasarkan pada prinsip dan visi jangka panjang, bukan sekadar loyalitas terhadap figur tertentu. Mereka perlu mempertimbangkan tiga aspek utama: