Perang di Suriah yang berlangsung lebih dari satu dekade telah menjadikan negara ini medan konflik geopolitik kompleks. Presiden Bashar al-Assad telah mempertahankan kekuasaannya, sebagian besar berkat dukungan dari Rusia dan Iran. Namun, apakah Assad dapat benar-benar memenangkan perang ini tetap menjadi perdebatan yang bergantung pada berbagai dinamika militer, politik, dan ekonomi.
Dukungan dari Rusia dan Iran
Sejak awal konflik, Rusia telah menjadi sekutu utama Assad, memberikan dukungan militer langsung sejak 2015. Serangan udara Rusia memungkinkan pasukan pemerintah merebut kembali sebagian besar wilayah yang sebelumnya dikuasai pemberontak, kecuali daerah-daerah di utara seperti Idlib. Iran juga mendukung Assad, mengirim milisi Syiah dan memperkuat posisinya di Suriah sebagai bagian dari "Poros Perlawanan" melawan Israel dan sekutu Barat. Dukungan ini telah memberikan Assad pijakan kuat untuk bertahan.
Namun, kedua sekutu Assad menghadapi tantangan besar. Perang Ukraina telah membebani sumber daya Rusia, sementara tekanan terhadap Iran meningkat akibat sanksi ekonomi dan konflik regional dengan Israel. Situasi ini bisa membatasi kemampuan kedua negara untuk terus mendukung Assad secara intensif.
Pemberontakan yang Terfragmentasi
Oposisi terhadap Assad terdiri dari berbagai kelompok yang terpecah, termasuk Hayat Tahrir al-Sham (HTS) di Idlib, Tentara Nasional Suriah (SNA) yang didukung Turki, serta Pasukan Demokratik Suriah (SDF) yang mayoritas Kurdi. Fragmentasi ini melemahkan oposisi dalam melawan Assad, meskipun serangan sporadis terus berlanjut.
Turki, sebagai pendukung utama SNA, telah menciptakan zona penyangga di wilayah utara Suriah. Kebijakan ini memperumit dinamika konflik, terutama dengan adanya ketegangan antara Turki dan SDF yang didukung AS. Selain itu, HTS tetap menjadi kekuatan signifikan di Idlib, menjadikan wilayah ini pusat ketegangan militer.
Faktor Ekonomi dan Kemanusiaan
Kemenangan Assad secara militer tidak berarti kemenangan politik dan ekonomi. Suriah mengalami krisis ekonomi yang mendalam, dengan inflasi tinggi, keruntuhan mata uang, dan kerusakan infrastruktur masif. Sekitar 90% populasi hidup dalam kemiskinan, dan jutaan orang mengungsi, baik di dalam negeri maupun ke negara-negara tetangga. Tantangan ini menghambat stabilisasi pasca-konflik yang diperlukan untuk menyatakan "kemenangan" yang sejati.
Pengaruh Internasional
Keterlibatan internasional terus memengaruhi jalannya perang. Israel telah meningkatkan serangan udara terhadap posisi Iran di Suriah, mempersulit strategi Teheran. Selain itu, hubungan geopolitik yang berubah, seperti normalisasi hubungan beberapa negara Arab dengan Assad, memberikan Assad peluang untuk memperbaiki legitimasi politiknya. Namun, sanksi Barat terhadap rezim Assad tetap menjadi hambatan besar.
Kesimpulan
Assad mungkin telah berhasil mempertahankan kekuasaannya, tetapi kemenangan penuh tampaknya masih jauh dari jangkauan. Konflik Suriah tidak hanya soal militer, tetapi juga mencakup dimensi politik, ekonomi, dan kemanusiaan. Selama faktor-faktor ini belum teratasi, Assad hanya bisa mengklaim kemenangan parsial di tengah lanskap konflik yang tetap rapuh.
Keberhasilan Assad dalam memenangkan perang ini akan sangat bergantung pada dukungan dari sekutunya, kemampuan untuk menstabilkan ekonomi, serta mengelola tekanan dari oposisi internal dan kekuatan internasional. "kemenangan" sejati akan membutuhkan solusi yang mencakup rekonstruksi, stabilitas politik, dan legitimasi internasional. Ini adalah tantangan besar yang kemungkinan membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk diselesaikan
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI