Pemikiran Soekarno yang terangkum dalam Marhaenisme menitikberatkan pada keberdayaan rakyat kecil dan kedaulatan ekonomi. Prinsip ini relevan dalam menghadapi kebijakan impor susu yang terus meningkat di Indonesia. Pada 2024, impor susu mencapai 257,3 ribu ton, meningkat 7,07% dibandingkan tahun sebelumnya. Negara seperti Selandia Baru, Amerika Serikat, dan Australia menjadi pemasok utama. Ironisnya, di tengah potensi besar sektor peternakan Indonesia, kebijakan ini justru mengukuhkan ketergantungan pada pihak asing.
### **Ketergantungan pada Impor: Sebuah Realitas Pahit**
Data menunjukkan bahwa produksi susu lokal hanya mampu memenuhi 20% dari kebutuhan domestik. Sisanya, sekitar 80%, dipenuhi melalui impor. Hal ini bukan sekadar angka, tetapi sebuah gambaran nyata tentang lemahnya kemandirian sektor peternakan Indonesia. Ditambah lagi, penghapusan bea masuk untuk susu impor akibat perjanjian perdagangan bebas semakin memperburuk posisi peternak lokal. Harga susu impor yang lebih murah membuat produk lokal sulit bersaing di pasar domestik.
Impor susu yang tinggi juga berdampak pada kedaulatan pangan nasional. Ketergantungan yang terlalu besar pada impor membuat Indonesia rentan terhadap gejolak pasar internasional. Jika terjadi gangguan pada rantai pasok global, seperti krisis logistik atau kebijakan proteksionisme dari negara eksportir, maka ketersediaan susu di dalam negeri akan terganggu. Situasi ini tidak hanya berdampak pada ekonomi, tetapi juga pada pemenuhan gizi masyarakat, terutama anak-anak.
### **Dampak Sosial-Ekonomi pada Peternak Lokal**
Peternak kecil, yang seharusnya menjadi tulang punggung perekonomian rakyat, menjadi korban utama dari kebijakan impor ini. Harga susu lokal sering kali tidak kompetitif karena biaya produksi yang tinggi, mulai dari pakan hingga teknologi peternakan yang masih minim. Akibatnya, banyak peternak yang terpaksa menjual sapi perah mereka atau bahkan beralih profesi. Kondisi ini menciptakan tekanan ekonomi yang besar, terutama di daerah-daerah yang bergantung pada sektor peternakan.
Selain itu, kebijakan impor yang tidak berimbang memperlebar jurang kesenjangan ekonomi. Peternak kecil kesulitan bertahan, sementara perusahaan besar dan importir mendapatkan keuntungan besar dari maraknya produk impor. Hal ini bertentangan dengan semangat Marhaenisme yang mengutamakan keadilan ekonomi bagi seluruh lapisan masyarakat.
### **Peluang dan Tantangan: Menghidupkan Semangat Marhaenisme**
Menghadapi situasi ini, pemerintah perlu mengambil langkah strategis untuk mengembalikan kemandirian sektor peternakan susu. Beberapa langkah yang dapat diambil antara lain:
1. **Investasi pada Teknologi Peternakan**
  Peternakan lokal membutuhkan dukungan teknologi modern untuk meningkatkan produktivitas. Misalnya, penggunaan mesin pemerah susu otomatis, pakan berkualitas tinggi, dan manajemen kesehatan sapi yang lebih baik. Dengan investasi teknologi, biaya produksi dapat ditekan sehingga produk lokal lebih kompetitif.
2. **Penguatan Koperasi Peternak**
  Koperasi dapat menjadi alat untuk memperkuat posisi tawar peternak kecil. Melalui koperasi, peternak dapat menjual susu mereka secara kolektif, mendapatkan akses ke pasar yang lebih luas, dan memperoleh harga yang lebih adil. Pemerintah perlu memberikan insentif dan pendampingan kepada koperasi untuk memastikan keberlanjutannya.
3. **Regulasi yang Berpihak pada Peternak Lokal**
  Salah satu langkah yang dapat diambil adalah mewajibkan importir untuk membeli susu lokal dalam jumlah tertentu sebagai syarat izin impor. Langkah ini sudah sempat diwacanakan oleh beberapa pejabat dan dapat menjadi strategi efektif untuk mendorong peningkatan produksi lokal.
4. **Kampanye Konsumsi Produk Lokal**
  Kesadaran konsumen tentang pentingnya mendukung produk lokal juga perlu ditingkatkan. Pemerintah dan berbagai pihak terkait dapat menggalakkan kampanye untuk mendorong masyarakat membeli susu lokal sebagai bentuk dukungan terhadap peternak kecil.
### **Menakar Kemauan Politik**
Namun, upaya-upaya tersebut membutuhkan kemauan politik yang kuat dari pemerintah. Kebijakan perdagangan bebas sering kali dijadikan alasan untuk mengabaikan kepentingan peternak lokal. Padahal, jika dirancang dengan bijak, kebijakan perlindungan terhadap peternak kecil tidak harus bertentangan dengan komitmen perdagangan internasional.
Selain itu, pemerintah perlu memastikan bahwa setiap kebijakan yang diambil benar-benar dilaksanakan dengan konsisten. Misalnya, regulasi mengenai pembelian susu lokal oleh importir harus diawasi dengan ketat agar tidak hanya menjadi wacana. Pengawasan yang lemah hanya akan merugikan peternak kecil dan memperburuk situasi.
### **Kesimpulan: Menggugah Kembali Jiwa Marhaenisme**
Kebijakan impor susu yang terus meningkat harus menjadi momentum bagi pemerintah untuk menggugah kembali semangat Marhaenisme. Prinsip kemandirian dan keberpihakan pada rakyat kecil harus menjadi landasan utama dalam merumuskan kebijakan di sektor peternakan. Tidak hanya untuk mengurangi ketergantungan pada impor, tetapi juga untuk memberdayakan peternak kecil sebagai pilar ekonomi nasional.
Dengan langkah-langkah strategis dan kemauan politik yang kuat, Indonesia dapat mewujudkan kedaulatan pangan yang sejati. Bukan hanya demi kesejahteraan peternak kecil, tetapi juga demi masa depan bangsa yang lebih mandiri dan berkeadilan. Jika Marhaenisme dapat diwujudkan dalam kebijakan nyata, maka impian Soekarno tentang kedaulatan ekonomi untuk seluruh rakyat Indonesia bukanlah sekadar utopia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H