Sudah lima tahun berlalu sejak dualisme di Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) pertama kali mencuat usai Kongres XXI di Ambon pada 2019. Konflik yang bermula dari ketidakpuasan hasil kongres tersebut menciptakan perpecahan tajam yang hingga kini belum terselesaikan. Dualisme ini mengundang keprihatinan dari berbagai pihak, baik internal organisasi maupun masyarakat luas yang mengenal GMNI sebagai salah satu motor penggerak gerakan mahasiswa nasionalis. Namun, hingga kini, pertanyaan besar tetap bergema: siapa yang harus bertanggung jawab atas perpecahan ini, dan bagaimana GMNI dapat melangkah maju?
Awal Mula Konflik Dualisme
Krisis dualisme DPP GMNI bermula dari kegagalan Kongres XXI di Ambon, yang menjadi ajang pemilihan kepemimpinan baru. Kongres ini diwarnai aksi intimidasi, kericuhan, dan pengambilan keputusan yang dianggap tidak adil oleh sebagian pihak. Ketegangan memuncak ketika sebagian peserta memutuskan untuk mengadakan kongres tandingan di lokasi lain. Akibatnya, lahirlah dua kubu kepemimpinan yang masing-masing mengklaim legitimasi. Hal ini diperburuk oleh minimnya mekanisme internal penyelesaian sengketa, yang membuat konflik berlarut-larut hingga ke tingkat cabang.
Seiring berjalannya waktu, pengakuan legal dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) terhadap salah satu kubu tidak berhasil menyelesaikan konflik secara keseluruhan. Dualisme dalam praktik tetap terjadi di lapangan, dengan masing-masing kubu menjalankan agenda mereka sendiri. Keadaan ini menggambarkan betapa dalamnya fragmentasi yang dialami GMNI, sehingga sulit menemukan titik temu antar pihak yang berseteru.
Dampak Dualisme Terhadap GMNI
Dualisme ini telah memberikan dampak signifikan terhadap eksistensi GMNI sebagai organisasi mahasiswa nasionalis. Pertama, konflik internal menguras energi organisasi yang seharusnya digunakan untuk memperjuangkan kepentingan rakyat marhaen. Kedua, reputasi GMNI di mata publik dan mitra strategis merosot, sehingga memengaruhi daya tarik organisasi ini di kalangan generasi muda. Banyak mahasiswa potensial yang merasa ragu untuk bergabung karena melihat kondisi internal GMNI yang tidak stabil.
Ketiga, dualisme menciptakan ketegangan di tingkat cabang. Banyak cabang yang terpaksa memilih afiliasi dengan salah satu kubu, sehingga melemahkan solidaritas organisasi secara keseluruhan. Bahkan, beberapa cabang mengalami stagnasi karena bingung menentukan arah kebijakan mereka di tengah ketidakpastian kepemimpinan di pusat.
Mengapa Dualisme Ini Berlangsung Lama?
Beberapa faktor utama menjadi penyebab konflik ini berlangsung lama. Salah satunya adalah kurangnya kepemimpinan yang mampu mengambil langkah tegas untuk menyelesaikan konflik sejak awal. Pemimpin terdahulu dianggap gagal membangun dialog yang inklusif dan mediasi yang efektif sebelum konflik mencapai puncaknya. Selain itu, minimnya sistem penyelesaian sengketa internal memperparah situasi. GMNI tampaknya tidak memiliki mekanisme yang jelas untuk menangani konflik pascakongres, sehingga krisis dibiarkan berlarut-larut tanpa solusi yang memadai.
Pengaruh eksternal juga disebut-sebut sebagai salah satu faktor yang memperburuk konflik ini. Beberapa pihak menduga adanya campur tangan dari kekuatan politik tertentu yang mencoba memanfaatkan konflik internal GMNI untuk kepentingan mereka. Hal ini menimbulkan polarisasi lebih lanjut, sehingga menyulitkan upaya rekonsiliasi.
Langkah Penyelesaian yang Perlu Dilakukan
Untuk mengakhiri dualisme yang sudah berlangsung selama lima tahun, beberapa langkah strategis perlu segera diambil. Pertama, GMNI perlu menyelenggarakan Kongres Luar Biasa (KLB) sebagai wadah untuk menyatukan kembali seluruh cabang. Kongres ini harus dirancang secara inklusif, melibatkan semua pihak yang berseteru, dan dijalankan dengan transparansi penuh.
Kedua, diperlukan mediasi independen dari tokoh-tokoh senior GMNI, akademisi, atau pihak netral lainnya. Mediator ini dapat membantu menjembatani perbedaan pandangan antara kubu yang berseteru, sehingga tercapai konsensus yang adil dan dapat diterima oleh semua pihak.
Ketiga, GMNI perlu melakukan reformasi internal secara menyeluruh. Reformasi ini mencakup pembenahan aturan main kongres, struktur organisasi, serta sistem pengambilan keputusan yang lebih demokratis dan transparan. Dengan demikian, konflik serupa di masa depan dapat dicegah.
Keempat, GMNI harus kembali fokus pada perjuangan intelektual dan ideologis sebagai organisasi mahasiswa nasionalis. Konflik internal hanya akan melemahkan daya juang organisasi. Sebaliknya, fokus pada isu-isu strategis yang relevan dengan masyarakat marhaen dapat menjadi titik temu yang menyatukan kembali kader-kader GMNI.
Siapa yang Bertanggung Jawab?
Tanggung jawab atas dualisme ini tidak hanya terletak pada satu pihak, melainkan pada seluruh elemen GMNI. Para pemimpin terdahulu memiliki tanggung jawab moral untuk mengakui kesalahan mereka dan menawarkan solusi konstruktif. Sementara itu, kader-kader muda juga memiliki tanggung jawab untuk mendorong reformasi dan perubahan positif di internal organisasi.
Dualisme ini seharusnya menjadi pelajaran berharga bagi GMNI untuk memperkuat mekanisme internal dan memperbaiki pola kepemimpinan. Jika GMNI ingin tetap relevan di tengah tantangan zaman, organisasi ini harus mampu menyelesaikan konflik internalnya dengan cara yang bermartabat dan berlandaskan prinsip perjuangan yang diajarkan Bung Karno.
Harapan untuk Masa Depan GMNI
Sebagai salah satu organisasi mahasiswa tertua di Indonesia, GMNI memiliki warisan sejarah yang kaya dan peran penting dalam perjuangan rakyat marhaen. Dualisme yang terjadi selama lima tahun terakhir adalah ujian besar yang akan menentukan arah masa depan organisasi ini. Jika konflik ini berhasil diselesaikan, GMNI berpeluang besar untuk kembali menjadi garda terdepan gerakan mahasiswa nasionalis. Namun, jika tidak ada langkah nyata, organisasi ini berisiko kehilangan relevansinya.
Kader GMNI harus bersatu untuk melawan penjajahan dalam bentuk baru, yaitu konflik internal yang menghambat kemajuan organisasi. "Setiap langkah harus untuk rakyat marhaen," mungkin seperti nya harus dipegang oleh Insan insan marhaenis di GmnI. GMNI harus berani mengambil langkah besar untuk menyatukan kembali barisannya. Masa depan organisasi ini ada di tangan para kader, dan mereka harus membuktikan bahwa GMNI masih layak disebut sebagai pelopor gerakan mahasiswa nasionalis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H