Di era globalisasi ini, perjuangan sebuah wilayah atau bangsa untuk meraih kedaulatan penuh seharusnya tidak lagi dipandang sebelah mata. Kemajuan dalam prinsip-prinsip demokrasi, hak asasi manusia, dan penghormatan terhadap hak menentukan nasib sendiri telah membuat semakin banyak negara dan bangsa berani menyuarakan hak mereka untuk berdaulat. Tiga kasus yang menarik untuk ditinjau adalah Palestina, Skotlandia, dan Transnistria. Meski dengan konteks sejarah dan dinamika politik yang berbeda, ketiganya memiliki satu tujuan yang sama: berdiri sebagai negara berdaulat yang diakui di mata dunia.
Palestina: Perjuangan Panjang yang Belum Usai
Kasus Palestina adalah contoh perjuangan yang sangat kompleks. Sejak era awal abad ke-20, wilayah ini telah mengalami konflik berkepanjangan yang bermula dari benturan kepentingan antara masyarakat Yahudi dan Arab yang tinggal di Palestina. Kemudian, munculnya negara Israel pada tahun 1948 semakin memperumit keadaan, terutama dengan berbagai perang dan konflik yang merenggut banyak nyawa dan memaksa jutaan warga Palestina menjadi pengungsi.
Palestina memiliki hak atas kemerdekaan penuh sesuai dengan resolusi PBB yang menyerukan solusi dua negara, di mana Palestina dan Israel dapat hidup berdampingan secara damai. Namun, realitas di lapangan menunjukkan tantangan yang tidak ringan, terutama dengan pendudukan Israel di Tepi Barat dan Yerusalem Timur, serta blokade Gaza yang telah berlangsung selama bertahun-tahun. Dengan kondisi ini, kedaulatan penuh Palestina belum tercapai, meskipun lebih dari 130 negara sudah mengakui negara Palestina. Tekanan internasional yang lebih kuat seharusnya diberlakukan kepada Israel agar mengakhiri pendudukan di wilayah Palestina dan memungkinkan rakyat Palestina menjalankan hak-hak politik, ekonomi, dan sosial mereka sebagai negara berdaulat.
Skotlandia: Sebuah Kasus Hak Menentukan Nasib Sendiri di Eropa Barat
Berbeda dengan Palestina, Skotlandia memiliki sejarah panjang sebagai negara yang bersatu dengan Inggris sejak tahun 1707 melalui Perjanjian Uni (Treaty of Union). Namun, semangat nasionalisme Skotlandia tidak pernah sepenuhnya padam. Pada tahun 2014, referendum kemerdekaan diadakan dengan hasil mayoritas tipis memilih tetap bersama Inggris. Namun, hasil referendum Brexit pada 2016, di mana mayoritas warga Skotlandia memilih untuk tetap berada dalam Uni Eropa, telah membangkitkan kembali tuntutan kemerdekaan Skotlandia.
Skotlandia saat ini merupakan bagian dari Britania Raya, tetapi semakin banyak warga Skotlandia yang merasa bahwa mereka memiliki identitas, budaya, dan kepentingan politik yang berbeda dengan Inggris. Partai Nasional Skotlandia (Scottish National Party, SNP) yang pro-kemerdekaan terus mendesak agar diadakan referendum kedua. Jika Britania Raya menghargai hak menentukan nasib sendiri yang dikampanyekan dalam berbagai forum internasional, maka Skotlandia seharusnya diberi kesempatan untuk memutuskan masa depannya sendiri. Kemerdekaan Skotlandia tidak hanya akan memperkuat demokrasi, tetapi juga menciptakan ruang bagi Skotlandia untuk kembali bergabung dengan Uni Eropa dan menjalankan kebijakan yang lebih sesuai dengan aspirasi rakyatnya.
Transnistria: Republik yang Terlupakan
Transnistria atau yang sering disebut sebagai "republik yang tidak diakui," terletak di wilayah sempit antara Moldova dan Ukraina. Setelah bubarnya Uni Soviet, Moldova mendeklarasikan kemerdekaannya pada 1991, dan sebagian besar wilayah bekas Soviet mendukung pembentukan negara Moldova yang baru. Namun, wilayah Transnistria menolak dan berusaha mempertahankan status quo ala Soviet. Pada 1992, konflik bersenjata terjadi antara Transnistria dan Moldova, dan sejak itu, Transnistria memiliki pemerintahan sendiri dengan dukungan militer dari Rusia.
Kendati memiliki pemerintahan, mata uang, dan angkatan bersenjata sendiri, Transnistria hingga kini belum mendapatkan pengakuan internasional. Banyak yang berpendapat bahwa status quo ini adalah hasil dari kepentingan geopolitik Rusia di kawasan tersebut, yang memanfaatkan Transnistria sebagai wilayah penyangga dari pengaruh Barat dan NATO. Namun, di sisi lain, keinginan rakyat Transnistria untuk menentukan nasib mereka sendiri tidak dapat diabaikan begitu saja. Transnistria secara konsisten telah menunjukkan aspirasinya untuk menjadi negara merdeka atau bahkan bergabung dengan Federasi Rusia. Walaupun hal ini berpotensi menimbulkan ketegangan di kawasan Eropa Timur, mengabaikan hak rakyat Transnistria untuk menentukan nasib mereka sendiri justru berpotensi memperpanjang konflik dan ketidakstabilan di wilayah tersebut.
Hak Menentukan Nasib Sendiri sebagai Prinsip Utama
Dalam konteks ketiga wilayah ini, hak menentukan nasib sendiri (self-determination) menjadi prinsip yang harus dihormati. Setiap bangsa dan masyarakat berhak untuk menentukan bentuk pemerintahan mereka tanpa intervensi dari pihak luar, selama hal tersebut tidak melanggar hak asasi manusia atau merugikan pihak lain. Prinsip ini seharusnya dipatuhi oleh masyarakat internasional, tidak hanya dalam kata-kata tetapi juga dalam tindakan.
Negara-negara yang sudah merdeka seharusnya menghormati dan mendukung aspirasi bangsa lain yang ingin meraih kedaulatan. Tentu saja, setiap kasus memiliki kompleksitas yang berbeda, seperti dalam kasus Palestina yang berhadapan dengan konflik militer, Skotlandia dengan masalah referendum dan politik domestik Inggris, serta Transnistria dengan konflik geopolitik antara Barat dan Rusia. Namun, sikap menunda atau menolak keinginan mereka untuk merdeka tidak akan menyelesaikan masalah, tetapi justru dapat memperburuk ketegangan yang ada.
Dukungan Internasional yang Konsisten Diperlukan
Perjuangan kemerdekaan dan kedaulatan ketiga wilayah ini memerlukan dukungan internasional yang konsisten. Palestina memerlukan dukungan agar solusi dua negara dapat diwujudkan tanpa ada pendudukan. Skotlandia memerlukan jaminan hak untuk mengadakan referendum yang adil dan bebas tanpa intervensi pemerintah Inggris. Transnistria memerlukan pengakuan bahwa aspirasinya harus dipertimbangkan dalam upaya mewujudkan stabilitas di kawasan tersebut.
Kesetaraan dan penghormatan terhadap hak-hak bangsa lain untuk menentukan nasib mereka sendiri merupakan dasar penting bagi perdamaian dan stabilitas internasional. Palestina, Skotlandia, dan Transnistria sudah seharusnya diizinkan untuk merdeka, mengatur diri mereka sendiri, dan mendapatkan hak yang sama dengan negara-negara merdeka lainnya. Menolak mereka untuk mencapai kemerdekaan berarti membiarkan ketidakadilan berlanjut dan mengabaikan prinsip yang seharusnya ditegakkan oleh masyarakat internasional.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H