Mohon tunggu...
dimas muhammad erlangga
dimas muhammad erlangga Mohon Tunggu... Mahasiswa - Aktivis GmnI

Baca Buku Dan Jalan Jalan Live In

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Kritik terhadap Kongres Luar Biasa GMNI 2016 di Medan

1 November 2024   10:23 Diperbarui: 1 November 2024   11:24 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kongres Luar Biasa (KLB) Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GmnI) yang digelar di Medan pada 2016 menuai berbagai kritik, baik dari kalangan internal maupun pihak eksternal organisasi. Sebagai organisasi yang telah melahirkan banyak tokoh nasional, GmnI seharusnya mampu mempertahankan integritas, idealisme, dan visi perjuangannya. 

Namun, dalam pelaksanaannya, KLB 2016 justru dianggap tidak mencerminkan nilai-nilai yang diusung oleh organisasi ini. Ada beberapa aspek yang menjadi titik sorotan, mulai dari proses pemilihan hingga arah kebijakan yang diambil dalam KLB tersebut.

1. Mekanisme dan Legitimasi KLB

Salah satu kritik utama terhadap KLB GmnI 2016 adalah terkait mekanisme penyelenggaraannya. Beberapa pihak menilai bahwa KLB tersebut tidak memiliki dasar yang kuat dan terkesan dipaksakan. Menurut sebagian besar anggota, penyelenggaraan KLB bukanlah solusi ideal untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi di tubuh GmnI, tetapi justru dapat memperburuk kondisi internal organisasi.

 KLB dianggap hanya dijadikan alat untuk mengonsolidasikan kekuatan dan kepentingan kelompok tertentu tanpa memedulikan mekanisme demokratis yang seharusnya dijunjung tinggi oleh organisasi yang mengklaim berideologi Pancasila ini.

Mekanisme KLB yang dianggap tidak transparan memicu pertanyaan tentang legitimasi hasil-hasil yang dihasilkan. Banyak anggota yang mempertanyakan proses pemilihan dan pengambilan keputusan yang dinilai tidak sesuai dengan prosedur organisasi. Beberapa peserta yang hadir bahkan merasa tidak mendapatkan akses informasi yang cukup mengenai agenda dan prosedur KLB, sehingga banyak keputusan yang diambil tanpa melibatkan seluruh elemen organisasi secara penuh.

2. Kepentingan Elit dan Politik Praktis

Kritik selanjutnya terkait dugaan adanya kepentingan elit dan politik praktis dalam pelaksanaan KLB tersebut. Sebagai organisasi yang seharusnya menjadi wadah perjuangan mahasiswa, GmnI diharapkan tetap netral dan berfokus pada kepentingan rakyat, bukan terjebak dalam kepentingan politik praktis. Namun, KLB 2016 di Medan memperlihatkan indikasi adanya pengaruh eksternal dari aktor-aktor politik yang berkepentingan untuk menguasai GmnI sebagai alat mobilisasi politik.

Banyak yang menilai bahwa KLB ini diwarnai oleh tarik-menarik kepentingan dari beberapa elit politik nasional yang melihat GmnI sebagai kekuatan yang potensial untuk dimanfaatkan demi tujuan politik jangka pendek. Kondisi ini menyebabkan GmnI, sebagai organisasi ideologis, kehilangan arah dan menjadi rentan terhadap polarisasi. Keterlibatan elit politik dalam KLB bukan hanya menodai prinsip independensi GmnI, tetapi juga merusak citra organisasi sebagai tempat kaderisasi yang berintegritas.

3. Hilangnya Semangat Marhaenisme

Sebagai organisasi yang didirikan dengan semangat Marhaenisme, GmnI diharapkan terus memperjuangkan hak-hak rakyat kecil dan menjunjung tinggi nilai-nilai nasionalisme serta kebhinekaan. Namun, KLB 2016 dianggap telah melenceng dari semangat ini. Keputusan-keputusan yang diambil tidak lagi mengedepankan isu-isu perjuangan rakyat atau persoalan-persoalan sosial yang relevan, melainkan lebih mengarah pada kepentingan pribadi dan kelompok tertentu.

Banyak kalangan mengkritik bahwa KLB tersebut tidak banyak membahas atau menghasilkan kebijakan yang berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat atau advokasi terhadap isu-isu sosial yang krusial. Hal ini menjadi ironi bagi GmnI, yang seharusnya berdiri di garis depan dalam membela kepentingan rakyat kecil. Ketidaktegasan arah perjuangan dalam KLB tersebut menunjukkan adanya pergeseran ideologis yang mengkhawatirkan bagi masa depan organisasi ini.

4. Minimnya Ruang Partisipasi Anggota

KLB 2016 juga dikritik karena minimnya ruang partisipasi bagi anggota-anggota muda atau kader-kader di tingkat akar rumput. Banyak anggota muda yang merasa tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan strategis yang seharusnya mencerminkan aspirasi seluruh kader GmnI dari berbagai daerah. Minimnya partisipasi ini menunjukkan adanya dominasi kelompok elit di dalam tubuh organisasi, yang secara tidak langsung mengabaikan peran dan potensi kader muda.

Minimnya partisipasi juga berdampak pada hilangnya rasa memiliki di kalangan kader. Kader-kader muda yang idealis dan memiliki semangat juang yang tinggi merasa kecewa dan kehilangan kepercayaan terhadap kepemimpinan organisasi. Padahal, keterlibatan kader muda sangat penting untuk memastikan keberlanjutan visi dan misi GmnI di masa depan.

5. KLB Sebagai Pemecah Belah Organisasi

Salah satu dampak yang paling merugikan dari KLB 2016 adalah munculnya perpecahan di internal GmnI. Alih-alih menyelesaikan konflik yang ada, KLB justru memperdalam jurang perbedaan dan menciptakan faksi-faksi baru dalam organisasi. Beberapa kelompok merasa tidak diakomodasi atau bahkan dimarginalkan, sehingga terjadilah polarisasi antara mereka yang mendukung dan menolak KLB.

Situasi ini memperlihatkan bahwa KLB di Medan telah gagal untuk menjadi solusi yang efektif dalam menyatukan visi dan misi GmnI. Perpecahan ini tidak hanya merusak soliditas organisasi, tetapi juga menghambat gerak langkah GmnI dalam melakukan advokasi terhadap isu-isu nasional. Tanpa kesatuan dan kohesi yang kuat, GmnI berisiko kehilangan perannya sebagai organisasi mahasiswa yang berpengaruh dan mampu memberi kontribusi positif bagi masyarakat.

6. Pelajaran Bagi Masa Depan GmnI

KLB 2016 di Medan seharusnya menjadi pelajaran penting bagi seluruh kader dan pimpinan GmnI. GmnI perlu menyadari bahwa konflik internal yang tidak diselesaikan dengan baik dapat berakibat fatal terhadap eksistensi dan peran organisasi di tengah masyarakat. Sebagai organisasi yang mengusung nilai-nilai nasionalisme dan Marhaenisme, GmnI harus kembali pada prinsip dasar yang mengutamakan kepentingan bersama dan menjaga independensi organisasi dari intervensi pihak luar.

Ke depan, GmnI harus mampu membangun mekanisme organisasi yang lebih demokratis dan inklusif, sehingga setiap anggota memiliki kesempatan yang sama untuk terlibat dalam pengambilan keputusan. Selain itu, penting bagi GmnI untuk menjaga jarak dari kepentingan politik praktis yang dapat merusak independensi organisasi. Hanya dengan cara ini, GmnI bisa mempertahankan integritasnya sebagai wadah perjuangan mahasiswa yang setia pada nilai-nilai perjuangan rakyat kecil.

Kesimpulan

KLB GmnI 2016 di Medan menjadi catatan kelam dalam sejarah organisasi ini. Ketidaktransparanan mekanisme, dominasi kepentingan elit, hingga minimnya ruang partisipasi anggota menunjukkan adanya persoalan mendasar yang perlu segera diatasi. Jika GmnI ingin tetap relevan dan dipercaya oleh masyarakat, organisasi ini harus berbenah dan kembali kepada semangat perjuangan yang telah diwariskan oleh para pendahulunya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun