Sebagai organisasi yang didirikan dengan semangat Marhaenisme, GmnI diharapkan terus memperjuangkan hak-hak rakyat kecil dan menjunjung tinggi nilai-nilai nasionalisme serta kebhinekaan. Namun, KLB 2016 dianggap telah melenceng dari semangat ini. Keputusan-keputusan yang diambil tidak lagi mengedepankan isu-isu perjuangan rakyat atau persoalan-persoalan sosial yang relevan, melainkan lebih mengarah pada kepentingan pribadi dan kelompok tertentu.
Banyak kalangan mengkritik bahwa KLB tersebut tidak banyak membahas atau menghasilkan kebijakan yang berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat atau advokasi terhadap isu-isu sosial yang krusial. Hal ini menjadi ironi bagi GmnI, yang seharusnya berdiri di garis depan dalam membela kepentingan rakyat kecil. Ketidaktegasan arah perjuangan dalam KLB tersebut menunjukkan adanya pergeseran ideologis yang mengkhawatirkan bagi masa depan organisasi ini.
4. Minimnya Ruang Partisipasi Anggota
KLB 2016 juga dikritik karena minimnya ruang partisipasi bagi anggota-anggota muda atau kader-kader di tingkat akar rumput. Banyak anggota muda yang merasa tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan strategis yang seharusnya mencerminkan aspirasi seluruh kader GmnI dari berbagai daerah. Minimnya partisipasi ini menunjukkan adanya dominasi kelompok elit di dalam tubuh organisasi, yang secara tidak langsung mengabaikan peran dan potensi kader muda.
Minimnya partisipasi juga berdampak pada hilangnya rasa memiliki di kalangan kader. Kader-kader muda yang idealis dan memiliki semangat juang yang tinggi merasa kecewa dan kehilangan kepercayaan terhadap kepemimpinan organisasi. Padahal, keterlibatan kader muda sangat penting untuk memastikan keberlanjutan visi dan misi GmnI di masa depan.
5. KLB Sebagai Pemecah Belah Organisasi
Salah satu dampak yang paling merugikan dari KLB 2016 adalah munculnya perpecahan di internal GmnI. Alih-alih menyelesaikan konflik yang ada, KLB justru memperdalam jurang perbedaan dan menciptakan faksi-faksi baru dalam organisasi. Beberapa kelompok merasa tidak diakomodasi atau bahkan dimarginalkan, sehingga terjadilah polarisasi antara mereka yang mendukung dan menolak KLB.
Situasi ini memperlihatkan bahwa KLB di Medan telah gagal untuk menjadi solusi yang efektif dalam menyatukan visi dan misi GmnI. Perpecahan ini tidak hanya merusak soliditas organisasi, tetapi juga menghambat gerak langkah GmnI dalam melakukan advokasi terhadap isu-isu nasional. Tanpa kesatuan dan kohesi yang kuat, GmnI berisiko kehilangan perannya sebagai organisasi mahasiswa yang berpengaruh dan mampu memberi kontribusi positif bagi masyarakat.
6. Pelajaran Bagi Masa Depan GmnI
KLB 2016 di Medan seharusnya menjadi pelajaran penting bagi seluruh kader dan pimpinan GmnI. GmnI perlu menyadari bahwa konflik internal yang tidak diselesaikan dengan baik dapat berakibat fatal terhadap eksistensi dan peran organisasi di tengah masyarakat. Sebagai organisasi yang mengusung nilai-nilai nasionalisme dan Marhaenisme, GmnI harus kembali pada prinsip dasar yang mengutamakan kepentingan bersama dan menjaga independensi organisasi dari intervensi pihak luar.
Ke depan, GmnI harus mampu membangun mekanisme organisasi yang lebih demokratis dan inklusif, sehingga setiap anggota memiliki kesempatan yang sama untuk terlibat dalam pengambilan keputusan. Selain itu, penting bagi GmnI untuk menjaga jarak dari kepentingan politik praktis yang dapat merusak independensi organisasi. Hanya dengan cara ini, GmnI bisa mempertahankan integritasnya sebagai wadah perjuangan mahasiswa yang setia pada nilai-nilai perjuangan rakyat kecil.