Amir Sjarifuddin Harahap adalah salah satu tokoh yang memiliki kontribusi besar dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, terutama dalam membentuk dasar Tentara Nasional Indonesia (TNI). Meski perannya sangat signifikan, nama Amir Sjarifuddin kerap terlupakan dalam sejarah nasional. Amir bukan hanya seorang politisi dan pemimpin perjuangan, tetapi juga seorang yang memiliki pemahaman mendalam tentang strategi militer, pemikiran ideologis, dan kepentingan nasional. Namun, jejak kontribusi Amir Sjarifuddin seringkali tenggelam, bahkan dilupakan, seiring waktu.
Latar Belakang Amir Sjarifuddin
Amir Sjarifuddin lahir pada 27 April 1907 di Medan, Sumatera Utara. Ia dibesarkan dalam keluarga Kristen Batak yang cukup terpandang dan menerima pendidikan yang baik sejak kecil. Amir kemudian melanjutkan pendidikan di Belanda, di mana ia menjadi sangat aktif dalam kegiatan politik dan terpengaruh oleh berbagai ideologi, terutama sosialisme dan komunisme. Saat kembali ke Indonesia, ia bergabung dalam gerakan nasionalis untuk memperjuangkan kemerdekaan dan memperjuangkan hak-hak rakyat kecil, khususnya melalui partai politik yang di kemudian hari ia bentuk dan pimpin.
Keterlibatan Amir dalam perjuangan kemerdekaan tidak lepas dari peran ideologisnya yang kuat. Meski memegang ideologi kiri, Amir memiliki pandangan nasionalisme yang kuat dan meyakini bahwa kemerdekaan Indonesia hanya dapat dicapai melalui persatuan dan perjuangan rakyat. Sebagai seorang tokoh intelektual, Amir sering menjadi jembatan antara kalangan nasionalis dan kelompok kiri, dengan harapan agar perjuangan kemerdekaan dapat disatukan di bawah satu tujuan bersama.
Kontribusi dalam Pembentukan TNI
Di tengah kondisi politik yang tidak stabil pasca kemerdekaan, Amir Sjarifuddin menjadi Menteri Pertahanan pada tahun 1945. Dalam posisinya ini, ia memiliki tanggung jawab besar dalam membentuk dasar-dasar TNI sebagai tentara profesional. Pada masa itu, Indonesia sangat membutuhkan kekuatan militer yang tangguh untuk menghadapi ancaman Belanda yang ingin kembali menjajah. Dengan modal dan persenjataan yang terbatas, Amir bekerja keras untuk mengorganisasi pasukan, mengembangkan struktur militer, dan membangun moral tentara.
Amir Sjarifuddin adalah salah satu tokoh yang menyadari bahwa TNI harus memiliki landasan ideologis dan kedisiplinan yang tinggi untuk menjadi kekuatan yang efektif. Salah satu kontribusinya adalah mendukung integrasi kekuatan militer dari berbagai laskar rakyat yang sebelumnya bergerak secara terpisah-pisah. Ia berusaha menggabungkan berbagai unsur, baik dari kalangan militer maupun sipil, untuk menciptakan kekuatan militer yang bersatu dan memiliki komando yang jelas. Amir turut berperan dalam membangun TNI sebagai lembaga yang bukan hanya sekadar bersenjata, tetapi juga berperan dalam mempertahankan ideologi nasional yang kuat.
Dalam proses pembentukan TNI, Amir tidak hanya memikirkan aspek militeristik, tetapi juga memperhatikan aspek kesejahteraan para prajurit. Ia percaya bahwa tentara yang kuat adalah tentara yang merasa diperhatikan kesejahteraannya. Oleh karena itu, Amir memperjuangkan adanya tunjangan dan fasilitas bagi para prajurit yang tergabung dalam TNI.
Ideologi Amir dan Konflik Politik
Namun, perjalanan Amir Sjarifuddin dalam pemerintahan tidaklah mulus. Pandangan ideologisnya yang dekat dengan sosialisme membuatnya sering berselisih dengan tokoh-tokoh lain yang berideologi berbeda. Dalam kabinetnya sebagai Perdana Menteri pada tahun 1947, Amir berusaha untuk menerapkan beberapa kebijakan yang pro-rakyat dan anti-imperialisme. Namun, kebijakan tersebut sering kali dianggap kontroversial dan mendapat tentangan dari berbagai pihak, termasuk kelompok nasionalis-konservatif dan Islamis.
Salah satu peristiwa penting yang membayangi masa kepemimpinan Amir adalah penandatanganan Perjanjian Renville pada 17 Januari 1948. Perjanjian ini diadakan setelah Agresi Militer Belanda I, dan meski dimaksudkan untuk menghentikan konflik, hasilnya dianggap merugikan Indonesia karena mengakui daerah-daerah yang dikuasai Belanda. Sebagai perdana menteri saat itu, Amir harus menanggung konsekuensi dari perjanjian ini, yang pada akhirnya membuat ia kehilangan dukungan dari berbagai kalangan, termasuk di dalam tubuh TNI.
Krisis politik ini memperlemah posisinya dan berujung pada pengunduran dirinya dari jabatan perdana menteri pada Januari 1948. Meski Amir dikenal sebagai salah satu pendiri TNI dan tokoh penting dalam perjuangan kemerdekaan, kiprahnya yang sarat dengan ideologi kiri membuatnya terpinggirkan dalam sejarah resmi setelah peristiwa pemberontakan PKI di Madiun pada September 1948. Amir dituduh terlibat dalam pemberontakan tersebut meskipun banyak pihak yang meragukan keterlibatannya secara langsung.
Nasib Tragis dan Pengkhianatan Sejarah
Pasca Peristiwa Madiun, Amir Sjarifuddin ditangkap oleh pihak militer yang menganggapnya sebagai ancaman. Pada Desember 1948, ia dijatuhi hukuman mati bersama beberapa tokoh kiri lainnya. Di hadapan regu tembak, Amir tetap mempertahankan sikap tegar dan pantang menyerah. Sebagai seorang yang pernah memperjuangkan kemerdekaan dan turut berkontribusi dalam pendirian TNI, akhir hidup Amir adalah sebuah ironi yang pahit. Ia dianggap sebagai pengkhianat, padahal ia adalah salah satu pendiri militer nasional yang kelak menjadi TNI.
Peran Amir Sjarifuddin sebagai tokoh militer, pemikir ideologis, dan politisi nasionalis seakan lenyap dari ingatan bangsa. Dalam buku-buku sejarah resmi, kontribusinya dalam membangun TNI dan memperjuangkan hak-hak rakyat kerap kali dilupakan. Ini adalah sebuah pengkhianatan sejarah terhadap seorang tokoh yang memiliki komitmen tinggi terhadap kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia.
Kesimpulan
Amir Sjarifuddin adalah tokoh yang layak diingat sebagai salah satu pendiri TNI. Meskipun memiliki pandangan ideologis yang kontroversial, ia tak diragukan lagi telah memberikan kontribusi besar dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Amir adalah contoh bahwa seorang pejuang nasional tidak harus selalu berada dalam koridor ideologi mayoritas untuk memperjuangkan bangsanya. Melalui kepemimpinannya sebagai Menteri Pertahanan dan Perdana Menteri, Amir berusaha membangun dasar militer nasional yang solid di tengah keterbatasan dan ancaman yang besar.
Namun, sejarah tampaknya tidak berpihak pada sosok Amir Sjarifuddin. Nama dan perannya kerap kali dihapus atau dipinggirkan dalam narasi sejarah nasional. Di sinilah pentingnya bagi kita sebagai generasi penerus untuk mengingat kembali tokoh-tokoh yang terlupakan dan mengapresiasi mereka yang telah berjuang dengan segala daya demi kemerdekaan bangsa. Amir Sjarifuddin layak mendapat tempat dalam sejarah TNI dan perjuangan nasional, bukan sebagai pengkhianat, tetapi sebagai pejuang yang terlupakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H