Salah satu peristiwa penting yang membayangi masa kepemimpinan Amir adalah penandatanganan Perjanjian Renville pada 17 Januari 1948. Perjanjian ini diadakan setelah Agresi Militer Belanda I, dan meski dimaksudkan untuk menghentikan konflik, hasilnya dianggap merugikan Indonesia karena mengakui daerah-daerah yang dikuasai Belanda. Sebagai perdana menteri saat itu, Amir harus menanggung konsekuensi dari perjanjian ini, yang pada akhirnya membuat ia kehilangan dukungan dari berbagai kalangan, termasuk di dalam tubuh TNI.
Krisis politik ini memperlemah posisinya dan berujung pada pengunduran dirinya dari jabatan perdana menteri pada Januari 1948. Meski Amir dikenal sebagai salah satu pendiri TNI dan tokoh penting dalam perjuangan kemerdekaan, kiprahnya yang sarat dengan ideologi kiri membuatnya terpinggirkan dalam sejarah resmi setelah peristiwa pemberontakan PKI di Madiun pada September 1948. Amir dituduh terlibat dalam pemberontakan tersebut meskipun banyak pihak yang meragukan keterlibatannya secara langsung.
Nasib Tragis dan Pengkhianatan Sejarah
Pasca Peristiwa Madiun, Amir Sjarifuddin ditangkap oleh pihak militer yang menganggapnya sebagai ancaman. Pada Desember 1948, ia dijatuhi hukuman mati bersama beberapa tokoh kiri lainnya. Di hadapan regu tembak, Amir tetap mempertahankan sikap tegar dan pantang menyerah. Sebagai seorang yang pernah memperjuangkan kemerdekaan dan turut berkontribusi dalam pendirian TNI, akhir hidup Amir adalah sebuah ironi yang pahit. Ia dianggap sebagai pengkhianat, padahal ia adalah salah satu pendiri militer nasional yang kelak menjadi TNI.
Peran Amir Sjarifuddin sebagai tokoh militer, pemikir ideologis, dan politisi nasionalis seakan lenyap dari ingatan bangsa. Dalam buku-buku sejarah resmi, kontribusinya dalam membangun TNI dan memperjuangkan hak-hak rakyat kerap kali dilupakan. Ini adalah sebuah pengkhianatan sejarah terhadap seorang tokoh yang memiliki komitmen tinggi terhadap kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia.
Kesimpulan
Amir Sjarifuddin adalah tokoh yang layak diingat sebagai salah satu pendiri TNI. Meskipun memiliki pandangan ideologis yang kontroversial, ia tak diragukan lagi telah memberikan kontribusi besar dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Amir adalah contoh bahwa seorang pejuang nasional tidak harus selalu berada dalam koridor ideologi mayoritas untuk memperjuangkan bangsanya. Melalui kepemimpinannya sebagai Menteri Pertahanan dan Perdana Menteri, Amir berusaha membangun dasar militer nasional yang solid di tengah keterbatasan dan ancaman yang besar.
Namun, sejarah tampaknya tidak berpihak pada sosok Amir Sjarifuddin. Nama dan perannya kerap kali dihapus atau dipinggirkan dalam narasi sejarah nasional. Di sinilah pentingnya bagi kita sebagai generasi penerus untuk mengingat kembali tokoh-tokoh yang terlupakan dan mengapresiasi mereka yang telah berjuang dengan segala daya demi kemerdekaan bangsa. Amir Sjarifuddin layak mendapat tempat dalam sejarah TNI dan perjuangan nasional, bukan sebagai pengkhianat, tetapi sebagai pejuang yang terlupakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H