Mohon tunggu...
dimas muhammad erlangga
dimas muhammad erlangga Mohon Tunggu... Mahasiswa - Aktivis GmnI

Baca Buku Dan Jalan Jalan Live In

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Friedrich Nietzsche: Tuhan Dan Ubermensch

25 Oktober 2024   04:45 Diperbarui: 25 Oktober 2024   07:53 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Friedrich Nietzsche (1844-1900) adalah salah satu filsuf paling provokatif dan kontroversial dalam sejarah pemikiran Barat. Ide-idenya telah memengaruhi berbagai bidang, mulai dari filsafat, psikologi, sastra, hingga politik. Dua konsep sentral yang kerap dikaitkan dengan Nietzsche adalah kritiknya terhadap konsep Tuhan dan gagasannya tentang "bermensch" (Manusia Unggul). Kedua ide ini, meski sering disalahpahami, merupakan inti dari filsafatnya yang mendalam dan revolusioner.

Tuhan Telah Mati

Salah satu pernyataan Nietzsche yang paling terkenal adalah "Tuhan telah mati." Kalimat ini pertama kali muncul dalam bukunya The Gay Science (1882), kemudian diperluas dalam Thus Spoke Zarathustra. Namun, apa yang sebenarnya dimaksud Nietzsche dengan pernyataan ini? Nietzsche tidak bermaksud bahwa Tuhan, secara harfiah, telah mati. Sebaliknya, dia menggambarkan kondisi spiritual dan kultural di Eropa pada akhir abad ke-19, di mana kepercayaan pada Tuhan dan agama Kristen mulai menurun.

Nietzsche percaya bahwa modernitas, yang ditandai oleh kemajuan sains, rasionalitas, dan sekularisme, telah mengguncang dasar-dasar kepercayaan agama. Ilmu pengetahuan modern dan filsafat Pencerahan telah menggantikan agama sebagai sumber makna dan kebenaran bagi banyak orang. Dalam konteks ini, "kematian Tuhan" adalah simbol dari krisis nilai dan moral yang terjadi di dunia Barat. Dengan runtuhnya agama tradisional, Nietzsche berpendapat bahwa manusia kini harus menghadapi kekosongan moral. Mereka tidak lagi dapat bergantung pada Tuhan atau agama untuk memberikan makna dalam hidup mereka.

Namun, Nietzsche tidak melihat "kematian Tuhan" semata sebagai sebuah tragedi. Baginya, ini adalah peluang untuk menciptakan kembali nilai-nilai dan arti hidup manusia. Kejatuhan agama tradisional membuka jalan bagi munculnya manusia baru yang mampu menciptakan nilai-nilai mereka sendiri, terlepas dari dogma-dogma lama.

Nihilisme: Krisis Nilai Setelah Tuhan Mati

Menurut Nietzsche, "kematian Tuhan" memicu munculnya nihilisme, yaitu keyakinan bahwa hidup tidak memiliki makna, tujuan, atau nilai yang mendasar. Dengan ketiadaan Tuhan, moralitas dan struktur nilai yang selama ini menopang masyarakat pun runtuh. Nietzsche menyadari bahwa tanpa Tuhan, manusia berisiko jatuh dalam keputusasaan dan kekacauan, karena mereka tidak lagi memiliki landasan spiritual yang kokoh.

Namun, Nietzsche tidak menganjurkan nihilisme sebagai akhir dari segalanya. Sebaliknya, ia melihat nihilisme sebagai fase transisi yang harus dilalui oleh manusia sebelum mereka bisa mencapai pencerahan yang lebih tinggi. Baginya, manusia harus mampu mengatasi nihilisme dengan menciptakan makna baru dan nilai-nilai yang mereka tentukan sendiri, tanpa harus bergantung pada otoritas eksternal, seperti agama atau tradisi. Inilah yang melatarbelakangi konsep "bermensch."

bermensch: Manusia Unggul

Konsep "bermensch" pertama kali muncul dalam buku Thus Spoke Zarathustra (1883-1885). bermensch adalah gambaran manusia masa depan yang mampu melampaui batas-batas kemanusiaan dan mengatasi nihilisme. Nietzsche menggunakan istilah ini untuk menggambarkan individu yang telah berhasil melampaui keterikatan pada nilai-nilai tradisional dan mampu menciptakan nilai-nilai baru secara independen.

bermensch bukanlah manusia dalam arti biologis, melainkan ideal yang harus diperjuangkan. Mereka adalah sosok yang sepenuhnya bebas, tidak tunduk pada moralitas konvensional atau kepercayaan agama. Nietzsche menggambarkan bermensch sebagai manusia yang hidup dengan keberanian dan tekad untuk mengejar kehendak mereka sendiri, mengembangkan potensi penuh mereka, dan tidak terikat pada dogma-dogma lama.

Penting untuk dicatat bahwa bermensch bukanlah manusia yang kejam atau tiran, seperti yang sering disalahartikan oleh beberapa kalangan. Sebaliknya, bermensch adalah individu yang mampu menciptakan nilai-nilai baru berdasarkan kehendak untuk berkuasa (will to power), yaitu dorongan untuk terus berkembang, berkreasi, dan mengatasi batas-batas diri. bermensch hidup tanpa rasa takut terhadap perubahan atau ketidakpastian, dan mampu menghadapi tantangan hidup dengan keberanian dan inovasi.

Tuhan dan Ubermensch: Hubungan Dialektis

Dalam konteks Nietzsche, "kematian Tuhan" adalah prasyarat bagi kelahiran bermensch. Tanpa meninggalkan kepercayaan pada Tuhan dan nilai-nilai absolut yang diwarisi dari agama, manusia tidak bisa mencapai kebebasan yang sejati. Nietzsche melihat agama sebagai bentuk penindasan terhadap potensi manusia, karena agama cenderung menekankan sikap tunduk, kerendahan hati, dan pengorbanan diri. Bagi Nietzsche, sikap-sikap ini bertentangan dengan kehendak untuk berkuasa, yang merupakan inti dari keberadaan manusia.

Dengan matinya Tuhan, manusia diberi kesempatan untuk menegaskan dirinya sebagai pencipta nilai-nilai. bermensch adalah manifestasi dari kebebasan yang dihasilkan dari kematian Tuhan. Mereka tidak lagi mencari makna hidup di luar diri mereka, tetapi menciptakannya dari dalam. bermensch tidak membutuhkan Tuhan, karena mereka telah menjadi "tuhan" bagi diri mereka sendiri, dalam arti mereka adalah pencipta dan penentu hidup mereka sendiri.

Tantangan Mencapai bermensch

Namun, Nietzsche menyadari bahwa mencapai status bermensch bukanlah hal yang mudah. Kebanyakan manusia, yang ia sebut sebagai "manusia kawanan" (herd morality), lebih memilih hidup dalam kenyamanan nilai-nilai yang diwarisi, tanpa mempertanyakan atau menciptakan sesuatu yang baru. Manusia kawanan cenderung takut pada perubahan dan ketidakpastian, sehingga mereka tetap terjebak dalam pola pikir yang lama. Bagi Nietzsche, manusia harus memiliki keberanian untuk melepaskan diri dari mentalitas kawanan ini jika mereka ingin menjadi bermensch.

Nietzsche juga menekankan pentingnya "pengulangan abadi" (eternal recurrence), yaitu gagasan bahwa hidup kita akan terulang kembali dalam siklus yang tak berkesudahan. Konsep ini menguji kekuatan manusia untuk menerima kehidupan dengan segala penderitaannya. Hanya mereka yang siap menerima kehidupan dengan segala aspeknya, baik dan buruk, yang bisa dianggap sebagai calon bermensch.

Kesimpulan

Friedrich Nietzsche dengan gagasannya tentang kematian Tuhan dan bermensch telah mengguncang dunia pemikiran modern. Dia menantang umat manusia untuk melepaskan kepercayaan lama dan menciptakan nilai-nilai baru dalam dunia yang telah kehilangan fondasi religiusnya. bermensch adalah simbol harapan Nietzsche tentang potensi tertinggi manusia, individu yang bebas dari keterikatan pada nilai-nilai tradisional dan mampu hidup sesuai dengan kehendak mereka sendiri. Tantangan bagi kita semua adalah, apakah kita bisa melampaui ketakutan kita terhadap perubahan dan menjadi pencipta hidup kita sendiri?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun