4. Kampanye dan Politik Uang
Fakta lain yang menunjukkan kemunduran Pemilu 2019 adalah maraknya politik uang. Dalam Pemilu 1999, meskipun ada pelanggaran, skala politik uang relatif kecil. Masyarakat saat itu masih memiliki harapan besar terhadap proses demokrasi dan memilih berdasarkan ideologi serta platform politik partai.
Sebaliknya, Pemilu 2019 diwarnai oleh meningkatnya praktik politik uang. Bawaslu melaporkan ribuan kasus pelanggaran, termasuk pembagian uang dan sembako sebagai bentuk suap untuk mendapatkan suara . Fenomena ini menunjukkan bahwa nilai-nilai demokrasi dalam Pemilu 2019 mengalami erosi, di mana uang menjadi alat utama untuk memenangkan pemilih, bukan gagasan atau visi politik.
5. Polarisasi dan Politik Identitas
Salah satu masalah paling mencolok dalam Pemilu 2019 adalah meningkatnya polarisasi politik yang didorong oleh politik identitas. Isu-isu agama dan etnis menjadi senjata utama dalam kampanye, terutama dalam persaingan antara Joko Widodo dan Prabowo Subianto. Kampanye diwarnai oleh narasi sektarian, terutama melalui media sosial, yang menciptakan ketegangan sosial.
Pada Pemilu 1999, meskipun ada beberapa ketegangan, kampanye politik lebih berfokus pada gagasan tentang reformasi dan perubahan sistem pemerintahan. Politik identitas tidak mendominasi wacana publik sebagaimana pada Pemilu 2019. Ini menunjukkan bahwa kualitas wacana politik pada Pemilu 1999 lebih substantif, sementara Pemilu 2019 lebih mengedepankan perpecahan berbasis identitas .
6. Transparansi dan Integritas Penyelenggaraan Pemilu
Pemilu 1999, meskipun penuh tantangan, dianggap relatif lebih bersih dari manipulasi sistematis. Keinginan rakyat untuk reformasi politik yang lebih bersih tercermin dalam proses pemilihan yang, meskipun tidak sempurna, berjalan dengan relatif jujur. Di sisi lain, Pemilu 2019 menghadapi berbagai tuduhan kecurangan, baik dari kubu oposisi maupun pengamat independen. Bawaslu menerima lebih dari 16.000 laporan dugaan pelanggaran pemilu , termasuk pelanggaran administratif dan teknis.
Kesimpulan
Dari berbagai fakta dan data yang ada, dapat disimpulkan bahwa Pemilu 2019 lebih buruk dalam beberapa aspek jika dibandingkan dengan Pemilu 1999. Penurunan kualitas demokrasi terlihat dari meningkatnya politik uang, polarisasi berbasis identitas, serta berkurangnya representasi politik akibat ambang batas parlemen yang tinggi. Pemilu 1999, dengan segala kekurangannya, lebih merepresentasikan euforia demokrasi dan harapan akan perubahan, sementara Pemilu 2019 menunjukkan kemunduran dalam kualitas partisipasi dan integritas pemilu.
Jika demokrasi ingin dipertahankan dan diperbaiki, pembelajaran dari Pemilu 1999 harus menjadi refleksi bagi pemilu-pemilu mendatang. Indonesia perlu kembali kepada semangat reformasi, di mana gagasan, bukan identitas, yang menjadi inti dari proses demokrasi.