Mohon tunggu...
dimas muhammad erlangga
dimas muhammad erlangga Mohon Tunggu... Mahasiswa - Aktivis GmnI

Baca Buku Dan Jalan Jalan Live In

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Pemilu 2019 Lebih Buruk Ketimbang Pemilu 1999: Refleksi dan Pembandingan Berdasarkan Fakta dan Data

12 Oktober 2024   17:59 Diperbarui: 12 Oktober 2024   18:08 212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemilihan Umum (Pemilu) 1999 dan Pemilu 2019 menjadi dua momen penting dalam sejarah politik Indonesia. Keduanya merupakan titik krusial dalam proses demokrasi di Indonesia, namun dalam berbagai aspek, Pemilu 2019 dinilai lebih buruk dibandingkan dengan Pemilu 1999. Artikel ini akan membandingkan kedua pemilu tersebut berdasarkan fakta dan data, menyoroti perbedaan signifikan dalam proses demokrasi, partisipasi publik, serta tantangan yang dihadapi.

1. Konteks Sejarah: Pemilu 1999 dan 2019

Pemilu 1999 adalah pemilu pertama pasca-Orde Baru dan merupakan simbol transisi demokrasi yang monumental. Setelah jatuhnya Presiden Soeharto pada 1998, Pemilu 1999 menjadi wadah bagi kebebasan politik yang lama terkungkung. Pemilu ini melibatkan banyak partai politik baru, dan masyarakat Indonesia menunjukkan antusiasme besar dalam berpartisipasi. Tercatat, sebanyak 48 partai politik turut serta, mencerminkan pluralitas politik yang sebelumnya terkekang.

Sebaliknya, Pemilu 2019 digelar di tengah stabilitas politik yang relatif lebih mapan, namun dalam situasi di mana polarisasi politik kian mengeras. Persaingan dalam Pemilu 2019 hanya berfokus pada dua kandidat presiden, yaitu Joko Widodo dan Prabowo Subianto, seperti yang juga terjadi pada Pemilu 2014. Partisipasi politik tetap tinggi, namun narasi pemilu didominasi oleh politik identitas yang tajam, menyebabkan fragmentasi sosial yang lebih dalam.

2. Demokrasi dan Kualitas Partisipasi Publik

Pada Pemilu 1999, partisipasi publik mencapai 93,3%, yang menunjukkan euforia masyarakat dalam berpartisipasi setelah puluhan tahun berada di bawah sistem otoriter. Pemilu ini dianggap sebagai pesta demokrasi yang sejati, di mana setiap warga negara memiliki harapan besar akan perubahan. Partai-partai politik yang beragam juga memberikan pilihan yang luas bagi pemilih, sehingga memungkinkan representasi politik yang lebih beragam.

Sebaliknya, Pemilu 2019 menunjukkan penurunan dalam kualitas partisipasi publik. Meskipun tingkat partisipasi mencapai 81,93%, angka ini lebih rendah dibandingkan Pemilu 1999. Lebih penting lagi, partisipasi politik pada Pemilu 2019 cenderung diwarnai oleh praktik-praktik manipulasi politik, seperti politik uang dan politik identitas. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mencatat ribuan pelanggaran, termasuk politik uang dan kampanye hitam yang merusak kualitas demokrasi .

3. Sistem Pemilu dan Keberagaman Politik

Pemilu 1999 menandai kebangkitan pluralitas politik. Sebanyak 21 partai politik berhasil masuk ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) meraih suara terbanyak. Sistem proporsional yang diterapkan pada Pemilu 1999 memungkinkan representasi yang lebih adil bagi berbagai kelompok politik, termasuk partai-partai kecil.

Di sisi lain, Pemilu 2019 semakin menunjukkan dominasi partai-partai besar. Sistem ambang batas parlemen (parliamentary threshold) sebesar 4% menyebabkan hanya 9 partai yang lolos ke DPR, mengakibatkan banyak suara pemilih menjadi sia-sia. Ini merupakan penurunan drastis dari Pemilu 1999, di mana partai-partai kecil masih memiliki peluang untuk berkompetisi secara adil . Sistem ini mempersempit spektrum politik dan mengurangi keberagaman representasi.

4. Kampanye dan Politik Uang

Fakta lain yang menunjukkan kemunduran Pemilu 2019 adalah maraknya politik uang. Dalam Pemilu 1999, meskipun ada pelanggaran, skala politik uang relatif kecil. Masyarakat saat itu masih memiliki harapan besar terhadap proses demokrasi dan memilih berdasarkan ideologi serta platform politik partai.

Sebaliknya, Pemilu 2019 diwarnai oleh meningkatnya praktik politik uang. Bawaslu melaporkan ribuan kasus pelanggaran, termasuk pembagian uang dan sembako sebagai bentuk suap untuk mendapatkan suara . Fenomena ini menunjukkan bahwa nilai-nilai demokrasi dalam Pemilu 2019 mengalami erosi, di mana uang menjadi alat utama untuk memenangkan pemilih, bukan gagasan atau visi politik.

5. Polarisasi dan Politik Identitas

Salah satu masalah paling mencolok dalam Pemilu 2019 adalah meningkatnya polarisasi politik yang didorong oleh politik identitas. Isu-isu agama dan etnis menjadi senjata utama dalam kampanye, terutama dalam persaingan antara Joko Widodo dan Prabowo Subianto. Kampanye diwarnai oleh narasi sektarian, terutama melalui media sosial, yang menciptakan ketegangan sosial.

Pada Pemilu 1999, meskipun ada beberapa ketegangan, kampanye politik lebih berfokus pada gagasan tentang reformasi dan perubahan sistem pemerintahan. Politik identitas tidak mendominasi wacana publik sebagaimana pada Pemilu 2019. Ini menunjukkan bahwa kualitas wacana politik pada Pemilu 1999 lebih substantif, sementara Pemilu 2019 lebih mengedepankan perpecahan berbasis identitas .

6. Transparansi dan Integritas Penyelenggaraan Pemilu

Pemilu 1999, meskipun penuh tantangan, dianggap relatif lebih bersih dari manipulasi sistematis. Keinginan rakyat untuk reformasi politik yang lebih bersih tercermin dalam proses pemilihan yang, meskipun tidak sempurna, berjalan dengan relatif jujur. Di sisi lain, Pemilu 2019 menghadapi berbagai tuduhan kecurangan, baik dari kubu oposisi maupun pengamat independen. Bawaslu menerima lebih dari 16.000 laporan dugaan pelanggaran pemilu , termasuk pelanggaran administratif dan teknis.

Kesimpulan

Dari berbagai fakta dan data yang ada, dapat disimpulkan bahwa Pemilu 2019 lebih buruk dalam beberapa aspek jika dibandingkan dengan Pemilu 1999. Penurunan kualitas demokrasi terlihat dari meningkatnya politik uang, polarisasi berbasis identitas, serta berkurangnya representasi politik akibat ambang batas parlemen yang tinggi. Pemilu 1999, dengan segala kekurangannya, lebih merepresentasikan euforia demokrasi dan harapan akan perubahan, sementara Pemilu 2019 menunjukkan kemunduran dalam kualitas partisipasi dan integritas pemilu.

Jika demokrasi ingin dipertahankan dan diperbaiki, pembelajaran dari Pemilu 1999 harus menjadi refleksi bagi pemilu-pemilu mendatang. Indonesia perlu kembali kepada semangat reformasi, di mana gagasan, bukan identitas, yang menjadi inti dari proses demokrasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun