Ada dua kebijakan kontroversial yang diberlakukan pada awal Oktober 2024. Pertama, anggota DPR tidak lagi menerima fasilitas rumah dinas, namun sebagai gantinya mereka mendapatkan tunjangan sebesar Rp 30-50 juta per bulan. Kedua, pemerintah mewajibkan pemotongan 3 persen dari gaji pekerja yang berada di atas UMR untuk mendanai program Tapera (Tabungan Perumahan Rakyat). Kedua kebijakan ini menimbulkan pertanyaan serius tentang keadilan sosial, khususnya dari perspektif Marhaenisme, yang menekankan perlindungan terhadap kaum kecil dan keadilan ekonomi bagi seluruh rakyat.
1. Ketidakadilan dalam Tunjangan DPR
Dari sudut pandang Marhaenisme, kebijakan memberikan tunjangan sebesar Rp 30-50 juta per bulan kepada anggota DPR adalah bentuk ketidakadilan ekonomi. Dalam teori Marhaenisme yang diusung oleh Soekarno, pemerintah diharapkan menjadi pelindung bagi rakyat kecil (Marhaen), yakni mereka yang memiliki alat produksi tetapi hidup dalam keterbatasan. Di sini, kita melihat bagaimana anggota DPR, yang seharusnya menjadi representasi rakyat, justru diberi kemewahan yang tidak sebanding dengan kebutuhan rakyat yang mereka wakili.
Pemberian tunjangan ini mencerminkan ketimpangan yang mencolok antara wakil rakyat dan rakyat itu sendiri. Marhaen, yang bekerja keras setiap hari dengan penghasilan yang kecil, justru harus menyaksikan wakil mereka hidup dalam kemewahan yang dibiayai dari anggaran negara. Dalam konteks ini, tunjangan Rp 30-50 juta per bulan seakan-akan menjadi simbol bahwa elite politik menikmati fasilitas istimewa di tengah kemiskinan yang masih menjadi masalah besar di Indonesia.
2. Pemotongan Gaji untuk Tapera: Beban Tambahan bagi Pekerja
Sementara itu, kebijakan pemotongan 3 persen dari gaji pekerja di atas UMR untuk program Tapera menunjukkan beban tambahan yang harus ditanggung oleh masyarakat pekerja. Dalam konteks ini, Marhaenisme memberikan kritik keras terhadap kebijakan yang justru memberatkan kaum pekerja yang sudah berjuang keras dalam kesehariannya. Meskipun tujuan Tapera (Tabungan Perumahan Rakyat) adalah menyediakan akses perumahan bagi masyarakat, pertanyaan yang muncul adalah: mengapa beban tersebut harus diletakkan di pundak para pekerja, bukan diambil dari sumber yang lebih adil, seperti pajak dari kekayaan para elite?
Marhaenisme mengajarkan bahwa kebijakan yang diambil oleh negara harus berpihak kepada rakyat kecil, bukan kepada segelintir golongan atas. Namun, dengan kebijakan ini, pekerja yang pendapatannya sedikit di atas UMR harus rela kehilangan sebagian dari pendapatan mereka untuk Tapera, yang kemungkinan besar manfaatnya belum tentu dirasakan secara langsung oleh mereka. Ini menambah daftar panjang kesenjangan sosial di Indonesia.
3. Ketidakadilan dalam Sistem Sosial dan Ekonomi
Kedua kebijakan ini mencerminkan ketidakadilan yang sistemik dalam struktur ekonomi dan politik di Indonesia. Pemberian tunjangan besar kepada anggota DPR dan pemotongan gaji pekerja adalah contoh nyata bagaimana kebijakan yang diambil oleh pemerintah sering kali lebih menguntungkan golongan elite daripada rakyat kebanyakan.
Marhaenisme menekankan bahwa keadilan sosial hanya bisa tercapai jika negara memberikan perhatian lebih kepada kebutuhan rakyat kecil, bukan kepada golongan elite. Negara, menurut Soekarno, harus mengatur sistem ekonomi yang tidak hanya berfokus pada pertumbuhan, tetapi juga pada pemerataan dan kesejahteraan sosial. Namun, kebijakan seperti ini memperlihatkan bahwa pertumbuhan ekonomi justru dibiayai dengan mengorbankan kesejahteraan pekerja, sementara elite politik hidup dalam kemewahan yang semakin tak tersentuh.
4. Solusi Berbasis Marhaenisme
Dalam konteks Marhaenisme, ada beberapa langkah yang bisa diambil untuk menciptakan sistem yang lebih adil. Pertama, tunjangan bagi anggota DPR sebaiknya ditinjau kembali. Anggota DPR sudah memiliki gaji yang cukup besar, dan mereka seharusnya menjadi teladan dalam kesederhanaan hidup serta pengabdian terhadap rakyat, bukan hidup dalam kemewahan yang berlebihan.
Kedua, pemotongan gaji pekerja untuk program Tapera harus dievaluasi. Program ini, meskipun tujuannya baik, harus dibiayai dengan cara yang lebih adil. Misalnya, pendanaan untuk Tapera bisa diperoleh dari pengenaan pajak yang lebih progresif kepada golongan kaya atau perusahaan besar, bukan dengan memotong penghasilan para pekerja yang sudah berjuang keras memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Selain itu, pemerintah harus memberikan solusi perumahan yang lebih terjangkau bagi rakyat kecil, termasuk dengan mendorong pembangunan perumahan rakyat yang didanai oleh negara, bukan dengan membebankan beban tersebut kepada pekerja. Hal ini sejalan dengan semangat Marhaenisme, yang berfokus pada peningkatan kesejahteraan rakyat kecil tanpa membebani mereka dengan pajak atau potongan yang tidak adil.
5. Kesimpulan
Dua kebijakan yang disoroti di sini---tunjangan besar bagi anggota DPR dan pemotongan gaji pekerja untuk Tapera---adalah cerminan dari ketidakadilan sosial dan ekonomi yang masih mengakar dalam sistem politik Indonesia. Dalam perspektif Marhaenisme, kebijakan ini adalah bentuk pengkhianatan terhadap semangat keadilan sosial yang seharusnya dijunjung tinggi oleh negara.
Negara harus mengubah pendekatan kebijakan ekonomi-politiknya agar lebih berpihak kepada rakyat kecil, dengan memastikan bahwa mereka tidak menanggung beban yang seharusnya menjadi tanggung jawab golongan yang lebih mampu. Dalam semangat Marhaenisme, pemerintah harus memperjuangkan kesejahteraan rakyat kecil dan menghapus segala bentuk ketimpangan yang memperparah kondisi kehidupan mereka. Hanya dengan demikian, cita-cita keadilan sosial dan pemerataan kesejahteraan bisa terwujud di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H