Mohon tunggu...
dimas muhammad erlangga
dimas muhammad erlangga Mohon Tunggu... Mahasiswa - Aktivis GmnI

Baca Buku Dan Jalan Jalan Live In

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Giorgio Agamben, Homo Sacer dan Paradoks Kedaulatan

5 Oktober 2024   14:18 Diperbarui: 5 Oktober 2024   14:25 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.nytimes.com/2020/08/21/opinion/sunday/giorgio-agamben-philosophy-coronavirus.html

Giorgio Agamben, seorang filsuf Italia kontemporer, telah memberikan kontribusi besar terhadap pemikiran filsafat politik melalui serangkaian karya yang mengeksplorasi konsep kedaulatan, hukum, dan kehidupan manusia. Salah satu karyanya yang paling terkenal adalah Homo Sacer: Il Potere Sovrano e la Nuda Vita (1995), yang menggali peran kedaulatan dalam menentukan siapa yang memiliki hak atas kehidupan dan kematian. Melalui konsep "homo sacer," Agamben mengeksplorasi bagaimana manusia, dalam konteks politik modern, dapat direduksi menjadi "kehidupan telanjang" (nuda vita), suatu kondisi yang berada di luar perlindungan hukum dan hak-hak sipil.

Homo Sacer dan Kehidupan Telanjang

Istilah homo sacer dalam tradisi Romawi kuno merujuk pada seseorang yang dikeluarkan dari perlindungan hukum. Homo sacer adalah individu yang tidak bisa dikorbankan untuk tujuan keagamaan, namun bisa dibunuh tanpa konsekuensi hukum. Dengan kata lain, homo sacer adalah sosok yang hidupnya berada di antara ranah hukum dan di luar hukum: seseorang yang dikeluarkan dari komunitas politik namun tetap terikat pada kuasa kedaulatan yang bisa menentukan nasibnya. Melalui homo sacer, Agamben menggambarkan bagaimana kedaulatan memproduksi pengecualian, yakni situasi di mana hukum ditangguhkan tetapi kekuasaan tetap berlanjut.

Dalam konteks modern, Agamben melihat homo sacer sebagai simbol manusia yang direduksi menjadi "kehidupan telanjang" atau kehidupan biologis yang terpisah dari aspek politik, sosial, dan moral. Kehidupan telanjang ini adalah eksistensi manusia yang paling mendasar, kehidupan yang tidak memiliki hak atau pengakuan dalam sistem politik, hanya ditentukan oleh kontrol negara dan kekuasaan.

Keadaan Pengecualian dan Kuasa Kedaulatan

Agamben mengembangkan gagasan tentang "keadaan pengecualian" (state of exception) untuk menjelaskan bagaimana kedaulatan bekerja. Keadaan pengecualian adalah situasi di mana norma-norma hukum ditangguhkan dalam nama keamanan atau krisis. Dalam keadaan ini, kekuasaan negara dapat melampaui hukum dan bertindak sewenang-wenang tanpa mempertanggungjawabkan tindakannya. Ini terlihat dalam situasi-situasi darurat seperti perang, terorisme, atau pandemi, di mana pemerintah menggunakan kuasa darurat untuk menangguhkan hak-hak sipil dan memperluas kendali mereka atas kehidupan warganya.

Bagi Agamben, keadaan pengecualian ini tidak hanya bersifat sementara, tetapi telah menjadi elemen permanen dalam politik modern. Ia menunjukkan bagaimana banyak negara, terutama dalam konteks pasca-9/11, telah menggunakan keadaan pengecualian untuk menjustifikasi tindakan represif seperti penahanan tanpa pengadilan, pengawasan massal, dan pembatasan kebebasan individu. Dengan demikian, kehidupan warga negara modern, khususnya mereka yang dianggap sebagai ancaman potensial, semakin mendekati kondisi homo sacer --- individu yang hidupnya ditentukan oleh kekuasaan yang berada di luar kendali mereka.

Kamp Konsentrasi sebagai Paradigma Politik Modern

Salah satu argumen paling kontroversial dalam karya Agamben adalah bahwa kamp konsentrasi merupakan "paradigma biopolitik" yang paling sempurna dalam politik modern. Kamp konsentrasi, seperti yang terlihat dalam Holocaust atau penahanan imigran ilegal, adalah ruang di mana kehidupan telanjang secara harfiah diciptakan oleh kekuasaan negara. Di dalam kamp, manusia direduksi menjadi eksistensi biologis semata, tanpa hak atau perlindungan hukum, di mana negara memiliki kekuasaan penuh atas hidup dan mati mereka.

Agamben berpendapat bahwa kamp konsentrasi tidak hanya fenomena historis yang terkait dengan rezim totaliter, tetapi merupakan logika yang melekat dalam politik modern itu sendiri. Politik kontemporer, menurutnya, terus menciptakan ruang-ruang di mana keadaan pengecualian diberlakukan, dan di mana manusia diklasifikasikan sebagai ancaman atau "musuh," seperti dalam kasus imigran, pengungsi, dan tahanan teroris.

Melalui analisis ini, Agamben memperingatkan tentang bahaya kekuasaan politik yang tak terkendali dalam masyarakat modern, di mana kehidupan manusia dapat dikurangi menjadi objek manipulasi dan pengendalian oleh negara. Dalam masyarakat yang semakin didominasi oleh teknologi pengawasan dan kontrol, keadaan pengecualian dapat diperpanjang secara terus menerus, menjebak individu dalam situasi di mana hak-hak mereka bisa dirampas kapan saja.

Kritik terhadap Konsep Hak Asasi Manusia

Salah satu implikasi penting dari pemikiran Agamben adalah kritiknya terhadap konsep hak asasi manusia. Dalam pandangan liberal, hak asasi manusia dipandang sebagai hak yang melekat pada setiap individu hanya berdasarkan keberadaan biologis mereka sebagai manusia. Namun, bagi Agamben, hak-hak tersebut tidak lebih dari ilusi karena hak-hak itu hanya berlaku selama seseorang diakui sebagai bagian dari komunitas politik. Ketika individu berada di luar komunitas itu --- seperti pengungsi atau orang yang ditahan tanpa pengadilan --- mereka menjadi homo sacer, yang kehidupannya tidak lagi dilindungi oleh hukum atau moralitas.

Dengan demikian, Agamben menegaskan bahwa hak-hak asasi manusia selalu bergantung pada pengakuan politik. Mereka yang tidak diakui sebagai bagian dari komunitas politik --- baik itu karena status kewarganegaraan, kondisi perang, atau keadaan pengecualian lainnya --- akan kehilangan hak-hak tersebut. Ini menjadi masalah krusial dalam dunia yang semakin global, di mana jutaan orang hidup dalam kondisi pengasingan politik, baik sebagai pengungsi maupun sebagai kelompok yang termarjinalkan.

Relevansi Homo Sacer dalam Politik Kontemporer

Pemikiran Agamben tentang homo sacer memiliki relevansi besar dalam politik kontemporer, khususnya dalam menghadapi tantangan global seperti migrasi, terorisme, dan pandemi. Pemerintah di seluruh dunia terus mengadopsi keadaan pengecualian untuk menanggapi krisis, sering kali dengan merampas hak-hak sipil dan meningkatkan kontrol atas kehidupan individu. Dalam konteks ini, konsep homo sacer membantu kita memahami bagaimana negara dapat menciptakan ruang-ruang pengecualian, di mana manusia direduksi menjadi "kehidupan telanjang," terjebak di antara hukum dan ketiadaan hukum.

Agamben mengingatkan kita tentang pentingnya mengawasi dan mengkritik kekuasaan negara, terutama ketika menggunakan alasan keamanan untuk menangguhkan hak-hak dan kebebasan. Ketika negara-negara semakin bergantung pada keadaan pengecualian untuk mempertahankan kendali, kita perlu merenungkan bagaimana menjaga martabat manusia dan kebebasan di bawah kedaulatan yang semakin represif.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun