Dalam perjalanan sejarah sosial-politik Indonesia, istilah Marhaen memiliki makna yang kuat dan sarat dengan nilai-nilai perjuangan. Marhaen adalah simbol dari kaum kecil yang tertindas, yang diperkenalkan oleh Bung Karno sebagai landasan ideologi perjuangan rakyat. Konsep ini merangkum cita-cita keadilan sosial, kemerdekaan, dan kedaulatan ekonomi bagi mereka yang kurang beruntung. Namun, pertanyaan yang sering muncul saat ini adalah, apakah kaum Marhaen zaman sekarang masih memiliki relevansi dan semangat perjuangan yang sama dengan kaum Marhaen di masa lalu? Bagaimana kita sebagai Marhaenis harus menyikapinya?
Marhaen Zaman Dulu: Penderitaan dan Perjuangan
Kaum Marhaen di zaman dulu, terutama di era sebelum dan sesudah kemerdekaan, adalah representasi dari rakyat kecil yang hidup dalam ketertindasan. Mereka adalah petani, buruh, dan nelayan yang menghadapi eksploitasi dari kekuatan kolonial dan kapitalis yang menguasai sumber daya alam dan tenaga kerja Indonesia. Kehidupan mereka penuh dengan kesederhanaan namun juga penderitaan akibat ketidakadilan yang terus-menerus.
Bung Karno, melalui ideologi Marhaenisme, mengangkat suara mereka. Marhaenisme menjadi alat perjuangan untuk memutus rantai ketidakadilan, memberikan mereka ruang untuk memperoleh hak atas tanah, kesempatan ekonomi yang adil, dan kebebasan dari penindasan. Marhaen zaman dulu bersatu dalam perjuangan kolektif yang menuntut perubahan, bersedia mengorbankan jiwa dan raga demi kemerdekaan bangsa dan keadilan sosial.
Marhaen Zaman Sekarang: Dinamika dan Tantangan Baru
Kaum Marhaen di zaman sekarang menghadapi konteks sosial-ekonomi yang berbeda. Meskipun penjajahan secara fisik telah berakhir, penjajahan dalam bentuk ekonomi, politik, dan sosial masih berlangsung. Eksploitasi sumber daya alam, ketimpangan distribusi ekonomi, dan ketidakadilan dalam akses terhadap pendidikan dan kesehatan masih menjadi persoalan utama yang dihadapi oleh kaum Marhaen masa kini.
Perubahan globalisasi, perkembangan teknologi, dan kapitalisme modern membawa tantangan baru bagi kaum Marhaen. Petani, buruh, dan kelas pekerja di era modern kini harus bersaing dalam ekonomi pasar yang lebih kompetitif, di mana kekuatan korporasi multinasional dan kebijakan ekonomi neoliberal sering kali memperparah ketimpangan. Reformasi agraria yang dahulu diperjuangkan masih belum sepenuhnya terwujud, banyak petani kehilangan tanah mereka akibat konflik agraria dengan korporasi besar. Buruh terjebak dalam sistem kerja kontrak yang tidak memberikan jaminan kesejahteraan. Nelayan kecil kesulitan menghadapi industri perikanan besar yang mendominasi pasar.
Di tengah semua tantangan ini, kaum Marhaen zaman sekarang sering kali terfragmentasi, terpecah dalam berbagai gerakan yang tidak selalu sejalan dengan semangat kolektivitas seperti yang ada di masa lalu. Gerakan sosial yang dulu solid dan terorganisir kini lebih sporadis dan cenderung tergantung pada momen tertentu, tanpa adanya platform ideologis yang kokoh seperti Marhaenisme di masa Bung Karno.
Sikap Marhaenis dalam Menyikapi Perubahan
Sebagai Marhaenis, kita perlu menelaah kembali prinsip-prinsip dasar yang diusung oleh Bung Karno dalam menghadapi perubahan zaman ini. Nilai-nilai keadilan sosial, kemandirian ekonomi, dan anti-imperialisme yang menjadi fondasi Marhaenisme tetap relevan. Namun, pendekatan dan strategi perjuangan harus disesuaikan dengan realitas zaman sekarang.
Pertama, kita harus menyadari bahwa musuh utama kaum Marhaen saat ini bukan lagi penjajahan fisik, melainkan penjajahan ekonomi yang terjadi melalui kekuatan kapitalisme global. Oleh karena itu, perjuangan harus berfokus pada menciptakan kebijakan ekonomi yang berpihak pada rakyat kecil. Negara harus hadir untuk melindungi kepentingan kaum Marhaen melalui kebijakan redistribusi tanah, perlindungan terhadap hak-hak buruh, dan penguatan ekonomi kerakyatan.
Kedua, Marhaenis masa kini harus aktif terlibat dalam gerakan sosial dan politik yang memperjuangkan hak-hak kaum Marhaen. Tidak cukup hanya berdiri di pinggir mengamati, kita harus menjadi bagian dari perubahan itu sendiri. Mengorganisir komunitas, memperkuat serikat buruh, mendukung gerakan reforma agraria, dan terlibat dalam pendidikan politik bagi kaum muda adalah beberapa langkah yang bisa diambil.
Ketiga, kita harus merangkul perkembangan teknologi dan globalisasi secara bijak. Teknologi tidak boleh hanya dimonopoli oleh kaum elite atau korporasi besar. Kaum Marhaen harus dilatih dan diberdayakan agar mampu bersaing di era digital. Pendidikan dan keterampilan teknologi perlu menjadi agenda utama dalam perjuangan Marhaenis masa kini agar rakyat kecil tidak semakin tertinggal dalam arus globalisasi.
Keempat, kita perlu mengembalikan semangat kolektivitas dan solidaritas yang dulu menjadi kekuatan utama kaum Marhaen. Tantangan terbesar kaum Marhaen saat ini adalah individualisme dan ketergantungan pada solusi jangka pendek. Gerakan Marhaenis harus kembali menekankan pentingnya solidaritas, bahwa nasib petani, buruh, nelayan, dan kelas pekerja lainnya adalah saling terkait. Hanya dengan bersatu, kita bisa melawan kekuatan besar yang mencoba menindas.
Kesimpulan: Marhaenisme untuk Masa Depan
Marhaenisme bukan sekadar ideologi yang usang, melainkan sebuah pandangan dunia yang harus terus hidup dan diperbarui sesuai dengan zaman. Kaum Marhaen zaman sekarang mungkin menghadapi bentuk-bentuk penindasan yang berbeda dari masa lalu, tetapi semangat untuk memperjuangkan keadilan sosial tetap harus menjadi landasan. Sebagai Marhaenis, kita harus bersikap adaptif, kritis, dan selalu berpihak pada kaum tertindas dalam setiap perjuangan. Hanya dengan demikian, nilai-nilai Marhaenisme bisa tetap relevan dan menjadi kekuatan perubahan bagi Indonesia yang lebih adil dan makmur.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H