Di atas punggung bumi yang lelah, Â
terbentang jejakmu, Bung, Â
seperti matahari yang memahat langit senja, Â
menyulut bara dalam dada yang dingin, Â
menghangatkan raga yang terbelenggu penjara malam.
Kau, sang pembebas, adalah ombak yang memecah karang, Â
menyanyikan simfoni kebebasan, Â
dalam irama yang tak pernah usai, Â
menggetarkan samudera ketakutan.
Langkahmu tak hanya meninggalkan jejak di tanah, Â
tapi juga mengukir takdir dalam jiwa-jiwa yang merdeka, Â
seperti hujan yang menyuburkan tanah tandus, Â
kau menanam benih harapan dalam setiap hembusan angin.
Kata-katamu adalah anak panah yang melesat ke cakrawala, Â
menembus kabut keangkuhan, Â
membuka jalan bagi cahaya, Â
menyentuh nurani yang lama tertidur dalam pelukan penjajah.
Bung, engkau adalah purnama di malam kelam, Â
yang memancarkan sinar di antara rimbunnya awan, Â
memberi arah pada burung-burung yang terbang mencari sarang, Â
di tengah gelap yang hampir memadamkan asa.
Tak pernah ada badai yang mampu menenggelamkan kapalmu, Â
karena layarmu adalah tekad baja, Â
dan kemudimu adalah hati nurani, Â
yang selalu berpihak pada rakyat jelata, Â
mengantar mereka ke dermaga kebebasan.
Jejakmu, Bung, adalah benang emas yang menenun sejarah, Â
mengikat masa lalu dengan masa depan, Â
mewujudkan mimpi-mimpi yang tersemat di bintang-bintang, Â
dan memeluknya erat dalam pelukan ibu pertiwi.
Kini, jejakmu tak hanya tercetak di tanah merah, Â
tapi juga di dalam hati setiap insan yang mendambakan merdeka, Â
menjadi suluh yang menerangi jalan, Â
menjadi api yang tak pernah padam, Â
dalam perjuangan tanpa akhir.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H