Menghidupkan Kembali Tradisi Ngaji di Madrasah Ibtidaiyah
oleh: Dimas Khaerul U Mahasiswa INISNU Temanggung Fakultas Tarbiyah
Di tengah arus deras kemajuan teknologi dan digitalisasi, pendidikan di Indonesia, khususnya di lembaga-lembaga keagamaan seperti madrasah ibtidaiyah, menghadapi tantangan besar untuk menjaga relevansi sambil tetap mempertahankan nilai-nilai tradisional. Salah satu tradisi yang kini mulai memudar di era modern ini adalah tradisi ngaji. Padahal, tradisi ngaji ini telah menjadi bagian integral dari pendidikan agama Islam di Indonesia selama berabad-abad, terutama di lingkungan pesantren dan madrasah.
Namun, dengan adanya disrupsi teknologi, kegiatan ngaji seringkali tergerus oleh pengaruh teknologi dan media sosial yang mengalihkan perhatian anak-anak pada konten digital yang instan. Untuk itu, menghidupkan kembali tradisi ngaji di madrasah ibtidaiyah menjadi penting, tidak hanya untuk melestarikan nilai-nilai lokal, tetapi juga untuk membentuk karakter generasi muda yang berbasis pada akhlak dan spiritualitas yang kuat.
Ngaji: Warisan Pendidikan Keagamaan Tradisional
Ngaji adalah tradisi mengaji Al-Quran dan mempelajari ajaran Islam secara mendalam, biasanya di bawah bimbingan seorang guru atau ustadz. Di madrasah ibtidaiyah, kegiatan ngaji umumnya diintegrasikan dengan pembelajaran formal seperti pelajaran Akidah Akhlak, Fiqih, dan Sejarah Kebudayaan Islam (SKI). Tradisi ini tidak hanya membekali anak-anak dengan pengetahuan agama, tetapi juga mengajarkan adab (etika) dan akhlak yang menjadi dasar kehidupan sosial yang harmonis.
Di masa lalu, ngaji dilakukan secara konsisten di mushola atau masjid madrasah setiap hari. Anak-anak diajari membaca Al-Quran, menghafal ayat-ayat suci, dan belajar memahami makna di balik setiap ayat. Kegiatan ini juga menanamkan rasa cinta terhadap Al-Quran serta membentuk kebiasaan beribadah sejak usia dini.
Tantangan di Era Digital
Namun, seiring berkembangnya teknologi dan hadirnya gadget serta internet, kebiasaan ngaji mulai tergeser. Banyak siswa di madrasah ibtidaiyah lebih tertarik dengan permainan online, video YouTube, dan media sosial yang memberikan hiburan instan. Ditambah lagi, gaya hidup modern yang serba cepat membuat orang tua dan guru harus mencari cara untuk menyeimbangkan pendidikan agama dan teknologi.
Kehadiran pandemi COVID-19 mempercepat peralihan ke pembelajaran daring, termasuk di madrasah. Meski pembelajaran daring memiliki manfaat dalam hal fleksibilitas, namun tradisi ngaji yang mengandalkan interaksi langsung antara guru dan murid tidak dapat tergantikan begitu saja oleh teknologi.
Menghidupkan Kembali Tradisi Ngaji
Menghidupkan kembali tradisi ngaji di madrasah ibtidaiyah bisa menjadi upaya strategis untuk menanamkan nilai-nilai agama sejak dini. Berikut beberapa langkah yang bisa dilakukan:
Integrasi Teknologi dalam Pembelajaran Ngaji: Teknologi tidak harus dilihat sebagai musuh, tetapi bisa menjadi alat yang membantu. Dengan aplikasi Al-Quran digital, video tutorial, dan platform belajar daring yang interaktif, anak-anak bisa lebih tertarik mengikuti kegiatan ngaji. Madrasah juga bisa memanfaatkan media sosial untuk menyebarkan konten Islami yang sesuai dengan tradisi lokal.
Penguatan Kegiatan Ngaji Secara Langsung: Kegiatan ngaji tradisional yang dilakukan secara langsung tetap harus diprioritaskan. Hal ini bisa menjadi momen kebersamaan antara guru dan murid serta kesempatan untuk membimbing siswa secara personal. Penting untuk menciptakan lingkungan belajar yang mendukung di madrasah, seperti penyediaan tempat khusus untuk ngaji yang nyaman dan kondusif.
Kolaborasi dengan Orang Tua: Pelibatan orang tua dalam menghidupkan tradisi ngaji sangat penting. Orang tua dapat mendampingi anak-anak mereka dalam membaca Al-Quran di rumah dan membiasakan mereka untuk memanfaatkan waktu luang dengan kegiatan religius. Dengan adanya kerja sama ini, tradisi ngaji tidak hanya terjaga di madrasah, tetapi juga di rumah.
Pengembangan Kurikulum Berbasis Nilai Lokal: Nilai-nilai lokal seperti Aswaja An-Nahdliyah yang menjadi karakteristik madrasah di banyak daerah bisa diintegrasikan ke dalam kegiatan ngaji. Dengan cara ini, anak-anak tidak hanya mempelajari ajaran agama secara umum, tetapi juga memahami konteks dan tradisi keagamaan yang ada di lingkungan mereka.
Pentingnya Pelestarian Nilai-nilai Lokal
Menghidupkan tradisi ngaji di madrasah ibtidaiyah bukan hanya soal melestarikan kebiasaan lama, tetapi juga merupakan upaya mempertahankan nilai-nilai luhur yang berperan penting dalam pembentukan karakter generasi muda. Di era globalisasi dan digitalisasi ini, identitas lokal sering kali terancam oleh budaya luar yang lebih dominan. Dengan mengembalikan tradisi ngaji, madrasah ibtidaiyah berperan dalam menjaga akar budaya dan spiritualitas bangsa.
Ngaji tidak hanya mengajarkan ilmu agama, tetapi juga mendidik anak-anak untuk menjadi pribadi yang sabar, tekun, serta memiliki rasa hormat kepada guru dan orang tua. Nilai-nilai seperti gotong royong, toleransi, dan kedisiplinan juga menjadi bagian yang tak terpisahkan dari tradisi ini.
Pentingnya Guru Ngaji Di Desa
Peran guru ngaji di desa sangat penting dalam membentuk karakter dan pendidikan agama bagi masyarakat, terutama anak-anak dan remaja. Berikut adalah beberapa peran penting guru ngaji di desa:
Pendidikan Agama: Guru ngaji menjadi sumber utama pendidikan agama Islam di desa, memberikan pengajaran mengenai dasar-dasar ibadah, akidah, akhlak, dan baca-tulis Al-Qur'an. Hal ini penting untuk memastikan generasi muda mendapatkan pondasi agama yang kuat.
Penanaman Nilai Moral dan Etika: Melalui pengajian, guru ngaji menanamkan nilai-nilai moral dan etika Islam, seperti kejujuran, tanggung jawab, dan kesopanan. Ini membantu membentuk karakter masyarakat yang berakhlak mulia.
Pembangunan Spiritual: Guru ngaji juga berperan dalam meningkatkan spiritualitas masyarakat desa, baik melalui kegiatan rutin seperti pengajian, zikir, maupun ceramah agama. Ini membantu menciptakan ikatan spiritual yang lebih kuat antara individu dengan Allah.
Penjaga Tradisi dan Budaya Islam Lokal: Di banyak desa, guru ngaji juga berperan dalam menjaga dan melestarikan tradisi-tradisi Islam lokal, seperti perayaan Maulid Nabi, tahlilan, atau tradisi keagamaan lain yang menjadi identitas budaya setempat.
Pendamping Sosial dan Pembimbing Moral: Guru ngaji sering menjadi tempat masyarakat mencari nasihat dalam menghadapi berbagai permasalahan kehidupan, baik masalah keluarga, sosial, maupun moral. Peran ini menjadikan guru ngaji sebagai figur sentral dalam komunitas.
Pemberdayaan Komunitas: Dalam beberapa kasus, guru ngaji juga berperan dalam menggerakkan komunitas untuk melakukan kegiatan sosial dan gotong royong, misalnya dalam hal pembangunan masjid atau kegiatan kemasyarakatan lainnya.
Membangun Kesadaran Beragama Sejak Dini: Melalui pengajaran agama, guru ngaji membantu menanamkan kesadaran beragama kepada anak-anak sejak usia dini, yang akan mempengaruhi sikap dan perilaku mereka saat dewasa.
Dengan semua peran ini, guru ngaji menjadi bagian integral dalam menjaga keberlangsungan kehidupan beragama dan sosial di desa.
Menghidupkan kembali tradisi ngaji di madrasah ibtidaiyah di era digital merupakan tantangan sekaligus peluang. Dengan pendekatan yang tepat, madrasah dapat menjaga warisan pendidikan keagamaan yang telah berlangsung lama sekaligus menyesuaikannya dengan perkembangan zaman. Melalui kombinasi antara teknologi dan tradisi, ngaji dapat menjadi media yang efektif untuk menanamkan nilai-nilai agama dan budaya lokal di kalangan generasi muda. Sebuah upaya yang tidak hanya akan memperkuat iman, tetapi juga identitas mereka sebagai bagian dari masyarakat yang religius dan berbudaya.
        Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H