Mohon tunggu...
Dimas Jayadinekat
Dimas Jayadinekat Mohon Tunggu... Freelancer - Author, Freelance Script Writer, Public Speaker, Enterpreneur Coach

Penulis buku Motivasi Rahasia NEKAT (2012), Penulis Skenario lepas di TVRI dan beberapa rumah produksi (2013-kini), Penulis Rubrik Ketoprak Politik di Tabloid OPOSISI dan Harian TERBIT (2011-2013), Content Creator di Bondowoso Network, Pembicara publik untuk kajian materi Film, Skenario, Motivasi, Kewirausahaan, founder Newbie Film Centre

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Salah Paham dalam Komunikasi Hal Biasa? Ini Penjelasannya Menurut NLP

3 Februari 2025   06:08 Diperbarui: 3 Februari 2025   06:22 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salah Paham dalam Komunikasi Hal Biasa? Ini Penjelasannya Menurut NLP, Foto oleh Anna Tarazevich:pexels.com

Pernahkah Anda merasa ada yang hilang dalam percakapan? Atau mungkin, tanpa sadar, Anda menyimpulkan sesuatu yang sebenarnya tidak pernah dikatakan dan menimbulkan salah paham?

Ketika sudah terjadi salah paham, seringkali keadaan meningkat menjadi perdebatan dan pertengkaran yang tentu saja ini akan mengganggu kehidupan Anda.

Kesalahan berpikir manusia, seperti delesi, distorsi, dan generalisasi, adalah penyebab utama timbulnya salah paham dalam komunikasi yang sering terjadi, terutama di era digital saat ini.

Dan Neuro-Linguistic Programming (NLP) adalah pendekatan dalam psikologi yang mempelajari bagaimana bahasa memengaruhi pikiran dan perilaku manusia, sehingga dengan mempelajarinya, kita dapat terhindar dari kondisi tersebut.

NLP dikembangkan pada tahun 1970-an oleh Richard Bandler dan John Grinder, yang mengamati pola komunikasi para terapis sukses dan merumuskan teknik untuk meningkatkan efektivitas komunikasi. 

Dilansir dari berbagai studi NLP, konsep ini membantu memahami bagaimana manusia memproses informasi, termasuk dalam hal kesalahan berpikir yang sering terjadi seperti delesi, distorsi, dan generalisasi.

Apakah yang dimaksud dengan delesi, distorsi dan generalisasi itu? Mari kita bahas secara singkat di artikel ini.

1. Delesi: Informasi yang Hilang dalam Komunikasi

Di era digital, orang semakin terbiasa dengan komunikasi singkat dan efisien. 

Dilansir dari penelitian psikologi komunikasi, manusia cenderung menghapus detail tertentu saat berbicara atau menulis agar lebih efisien. Namun, akibatnya, banyak informasi penting yang hilang.

Contoh nyata terjadi di media sosial. Sebuah unggahan singkat "Hari ini kacau!" bisa berarti banyak hal: apakah karena kemacetan, pekerjaan yang menumpuk, atau masalah pribadi? 

Mengutip dari teori NLP, delesi membuat pesan kurang jelas dan sering kali menimbulkan kesalahpahaman dalam komunikasi.

Beberapa dekade lalu, komunikasi lebih banyak dilakukan secara tatap muka. 

Dikutip dari berbagai sumber tentang studi komunikasi interpersonal, interaksi langsung lebih jarang mengalami delesi karena ada ekspresi wajah dan nada suara yang memberikan konteks tambahan. 

Sekarang, dengan dominasi teks dan emoji, kita sering kali kehilangan konteks tersebut.

2. Distorsi: Fakta yang Berubah di Kepala Kita

Distorsi terjadi saat seseorang menafsirkan sesuatu secara keliru atau membangun asumsi tanpa bukti. Di dunia modern, hal ini semakin sering terjadi karena arus informasi yang cepat dan tidak selalu akurat.

Mengutip dari kajian psikologi kognitif, manusia sering kali mengisi kekosongan informasi dengan dugaan mereka sendiri. 

Misalnya, jika seseorang tidak membalas pesan dalam waktu lama, kita bisa langsung berpikir "dia pasti marah" atau "dia sengaja mengabaikan aku." Padahal, bisa saja dia hanya sibuk atau ponselnya kehabisan baterai.

Dulu, sebelum era digital, orang lebih banyak berkomunikasi langsung. Tanpa pesan instan, orang lebih sabar menunggu balasan dan tidak langsung menyimpulkan sesuatu secara negatif. 

Namun sekarang, dengan ekspektasi respons cepat, distorsi semakin sering terjadi.

3. Generalisasi: Semua Itu Sama Saja!

Generalisasi terjadi saat seseorang mengambil satu atau beberapa pengalaman dan menganggapnya berlaku untuk semua situasi.

Dilansir dari penelitian perilaku manusia, ini adalah mekanisme bertahan hidup otak untuk menyederhanakan dunia yang kompleks. Namun, dalam kehidupan sosial, generalisasi bisa berbahaya.

Contoh umum adalah pernyataan seperti "Orang kaya itu sombong" atau "Anak muda zaman sekarang malas." 

Mengutip dari studi psikologi sosial, generalisasi seperti ini sering kali mengabaikan perbedaan individu dan memperkuat stereotip yang tidak selalu benar.

Beberapa dekade lalu, generalisasi juga terjadi, tetapi dengan cara berbeda. Dari berbagai penelitian sejarah budaya, media tradisional seperti televisi dan surat kabar lebih mengontrol narasi yang beredar. 

Sekarang, dengan media sosial yang memungkinkan siapa saja berbicara, generalisasi menyebar lebih cepat dan luas.

Sadari dan Perbaiki!

Delesi, distorsi, dan generalisasi adalah bagian alami dari cara kita memproses informasi. Namun, jika dibiarkan, ini bisa memperburuk komunikasi dan memperkuat kesalahpahaman. 

Menurut teori NLP, memahami pola ini membantu kita lebih berhati-hati dalam menyaring informasi, bertanya lebih dalam, dan tidak langsung mengambil kesimpulan.

Di zaman sekarang, di mana informasi bergerak lebih cepat dari sebelumnya, penting untuk melatih diri agar tidak terjebak dalam kesalahan berpikir yang sering terjadi. 

Karena pada akhirnya, komunikasi efektif di era digital akan membantu kita membangun hubungan yang lebih baik dan mengurangi kesalahpahaman dalam komunikasi.

Tuliskan ini saya hadirkan bukan karena mengklaim sebagai ahli, karena semuanya disajikan berdasarkan pengetahuan dari obrolan dengan kawan-kawan yang menggeluti bidang tersebut, serta lewat penelusuran di internet.

Dan semua itu merupakan bagian dari keresahan atas begitu banyaknya salah paham yang ditimbulkan karena ketiga hal tersebut.***

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun