Mohon tunggu...
Dimas Jayadinekat
Dimas Jayadinekat Mohon Tunggu... Freelancer - Author, Freelance Script Writer, Public Speaker, Enterpreneur Coach

Penulis buku Motivasi Rahasia NEKAT (2012), Penulis Skenario lepas di TVRI dan beberapa rumah produksi (2013-kini), Penulis Rubrik Ketoprak Politik di Tabloid OPOSISI dan Harian TERBIT (2011-2013), Content Creator di Bondowoso Network, Pembicara publik untuk kajian materi Film, Skenario, Motivasi, Kewirausahaan, founder Newbie Film Centre

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Fenomena Tukang Parkir: Sejarah dan Realita Pengelolaan Parkir di Indonesia

28 Januari 2025   05:44 Diperbarui: 28 Januari 2025   05:55 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fenomena Tukang Parkir: Sejarah dan Realita Pengelolaan Parkir di Indonesia, Photo by fajri nugroho:pexels.com

Parkir merupakan salah satu kebutuhan dasar di kota-kota besar yang semakin padat dengan kendaraan bermotor. 

Namun, keberadaan tukang parkir di Indonesia sering kali memicu pertanyaan terkait efektivitas dan tanggung jawab mereka, terutama ketika terjadi insiden seperti kehilangan barang atau kendaraan. 

Bagaimana sejarah dan sistem pengelolaan parkir di Indonesia, dan apa perbedaannya dengan sistem di luar negeri? Mari kita ulas lebih dalam.

Sejarah Fenomena Tukang Parkir di Indonesia

Fenomena tukang parkir di Indonesia mulai terlihat sejak tahun 1970-an, saat urbanisasi dan jumlah kendaraan bermotor meningkat signifikan di kota-kota besar. 

Pada masa itu, pengelolaan parkir bersifat sangat informal. Banyak masyarakat lokal atau bahkan "preman" yang memanfaatkan area tertentu sebagai lahan parkir. 

Keberadaan mereka kemudian berkembang menjadi "profesi" tukang parkir yang kita kenal saat ini.

Pada dekade 1990-an, pemerintah mulai menyadari potensi pendapatan dari sektor parkir dan mulai mengatur sistem ini. 

Dilansir dari Kementerian Perhubungan, pengelolaan parkir kemudian diserahkan kepada dinas perhubungan atau pihak ketiga seperti koperasi dan perusahaan swasta. 

Hal ini ditandai dengan adanya tiket parkir resmi dan aturan tarif yang lebih terstandarisasi. 

Meskipun demikian, di beberapa tempat, tukang parkir informal tetap eksis, terutama di kawasan padat seperti pasar, stasiun, dan pusat perbelanjaan.

Fenomena Pengelolaan Parkir oleh Ormas

Di beberapa kota di Indonesia, pengelolaan parkir sering kali melibatkan organisasi masyarakat (ormas). 

Ormas ini, yang pada awalnya bertujuan membantu pengelolaan parkir secara lebih terorganisir, tapi malah kerap terlibat dalam persaingan lahan parkir. 

Rebutan lahan parkir antara kelompok-kelompok ini bahkan sering kali memicu konflik terbuka yang mengganggu ketertiban umum.

Dikutip dari Kompas.com, beberapa insiden di kota besar menunjukkan bahwa ormas mengklaim area parkir tertentu tanpa izin resmi. 

Situasi ini tidak hanya menimbulkan ketegangan di antara kelompok ormas, tetapi juga mempersulit pemerintah dalam mengelola pendapatan parkir. 

Konflik seperti ini menjadi tantangan besar untuk menciptakan pengelolaan parkir yang lebih transparan dan terstruktur.

Perusahaan Parkir dan Omzetnya

Pengelolaan parkir di Indonesia tidak hanya dilakukan oleh tukang parkir informal, tetapi juga oleh perusahaan-perusahaan besar.

Dilansir dari Katadata.co.id, salah satu perusahaan parkir terkemuka di Indonesia mencatat omzet hingga Rp10 miliar per bulan dari operasional parkir di berbagai lokasi strategis seperti mal, gedung perkantoran, dan rumah sakit. 

Dalam setahun, angka ini bisa mencapai lebih dari Rp120 miliar. Seru kan? 

Namun, besarnya omzet ini tidak lepas dari tantangan. Data dari Kementerian Perhubungan menunjukkan bahwa rata-rata ada sekitar 500 kasus kehilangan atau kerusakan kendaraan setiap tahunnya di area parkir formal di seluruh Indonesia. 

Beberapa perusahaan memberikan kompensasi berupa penggantian penuh atau sebagian sesuai nilai kerugian, namun banyak juga yang menggunakan klausul "parkir tanpa jaminan" untuk menghindari tanggung jawab hukum.

Tukang Parkir di Minimarket: Liar atau Resmi?

Fenomena tukang parkir di minimarket sering kali menjadi perdebatan. Dilansir dari Kompas.com, sebagian besar tukang parkir di minimarket merupakan pihak informal yang tidak memiliki izin resmi. 

Mereka biasanya "mengelola" area parkir tanpa kerja sama dengan pengelola minimarket. Dalam beberapa kasus, minimarket telah memasang tanda "Parkir Gratis" untuk melindungi konsumen, tetapi tukang parkir ini tetap meminta uang dari pengguna parkir.

Pertanyaannya, ke mana setoran mereka? Sebagian besar tukang parkir seperti ini diduga menyetor ke oknum tertentu, baik individu maupun kelompok informal, yang mengklaim area tersebut sebagai "milik" mereka. 

Situasi ini mencerminkan lemahnya pengawasan dan regulasi terhadap pengelolaan parkir informal.

Bagaimana kita menyikapinya? Disarankan untuk mematuhi aturan yang ada di lokasi tersebut. Jika minimarket telah mencantumkan tanda "Parkir Gratis", pengguna kendaraan berhak menolak membayar. 

Penting juga untuk melaporkan praktik ini ke pihak berwenang atau manajemen minimarket jika merasa dirugikan.

Tanggung Jawab Pengelola Parkir di Luar Negeri

Di luar negeri, tanggung jawab pengelola parkir atas kehilangan atau kerusakan kendaraan lebih jelas diatur. Misalnya:

  1. Amerika Serikat: Sebagian besar pengelola parkir menggunakan tanda peringatan yang menyatakan bahwa mereka tidak bertanggung jawab atas kehilangan atau kerusakan kendaraan. Namun, jika insiden terjadi akibat kelalaian pengelola (seperti kerusakan di garasi parkir yang dikelola perusahaan), pengelola diwajibkan memberikan kompensasi.

  2. Eropa: Di Inggris, pengelola parkir formal biasanya menyediakan asuransi tambahan. Dilansir dari British Parking Association, pengguna parkir yang mengalami kehilangan dapat mengklaim asuransi tersebut dengan syarat tertentu.

  3. Asia: Jepang, dengan sistem parkirnya yang otomatis, memiliki tingkat kehilangan yang sangat rendah. Jika terjadi insiden, pengelola biasanya mengganti kerugian dengan uang tunai atau perbaikan langsung kendaraan yang rusak.

Mengapa Sistem di Indonesia Berbeda?

Ada beberapa alasan mengapa sistem parkir di Indonesia berbeda:

  1. Tingkat Regulasi yang Rendah: Dilansir dari Kompas.com, banyak lahan parkir di Indonesia yang dikelola secara informal tanpa pengawasan ketat dari pemerintah.

  2. Penggunaan Teknologi yang Minim: Di luar negeri, teknologi seperti sensor parkir dan aplikasi digital sangat umum. Di Indonesia, teknologi ini baru diterapkan di beberapa kota besar.

  3. Kultur dan Kesadaran Hukum: Banyak pengguna parkir di Indonesia yang tidak meminta bukti pembayaran resmi, sehingga sulit untuk menuntut tanggung jawab jika terjadi masalah.

Sistem parkir di Indonesia mencerminkan kompleksitas urbanisasi yang belum sepenuhnya terstruktur. 

Konflik yang melibatkan ormas, minimnya tanggung jawab atas keamanan kendaraan, dan rendahnya adopsi teknologi menunjukkan perlunya perbaikan mendasar dalam pengelolaan parkir. 

Belajar dari sistem parkir luar negeri, Indonesia seharusnya dapat mengembangkan sistem yang lebih efisien, aman, dan adil untuk semua pihak.***

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun