Mohon tunggu...
Dimas Jayadinekat
Dimas Jayadinekat Mohon Tunggu... Freelancer - Author, Freelance Script Writer, Public Speaker, Enterpreneur Coach

Penulis buku Motivasi Rahasia NEKAT (2012), Penulis Skenario lepas di TVRI dan beberapa rumah produksi (2013-kini), Penulis Rubrik Ketoprak Politik di Tabloid OPOSISI dan Harian TERBIT (2011-2013), Content Creator di Bondowoso Network, Pembicara publik untuk kajian materi Film, Skenario, Motivasi, Kewirausahaan, founder Newbie Film Centre

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Fenomena Media Sosial: Caci Maki, Flexing, Curhat, dari Perspektif Psikologi

11 Januari 2025   08:13 Diperbarui: 11 Januari 2025   08:25 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fenomena Media Sosial,Caci Maki, Flexing, dari Perspektif Psikokogi, Photo by Pixabay

Media sosial telah menjadi bagian integral dari kehidupan masyarakat Indonesia.

Platform seperti Facebook, Instagram, dan Twitter memungkinkan individu untuk mengekspresikan diri, berinteraksi, dan membangun identitas digital. 

Namun, fenomena seperti mencaci maki, flexing (pamer kekayaan), dan curhat (curahan hati) di media sosial menimbulkan pertanyaan mengenai dampaknya terhadap kesehatan mental dan dinamika sosial.

Mencaci Maki: Ekspresi Frustrasi atau Kurangnya Empati?

Perilaku mencaci maki di media sosial sering kali mencerminkan luapan emosi negatif yang tidak terkontrol. 

Menurut pakar psikologi sosial, individu yang terlibat dalam perilaku ini mungkin mengalami masalah dengan self-esteem dan rasa aman dalam dirinya. 

Mereka mencari kompensasi melalui perilaku agresif online untuk mendapatkan pengakuan atau merasa superior. 

Selain itu, kurangnya empati dan anonimitas di dunia maya dapat mendorong individu untuk berperilaku kasar tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap orang lain. 

Hal ini dapat menciptakan lingkungan digital yang toksik dan mempengaruhi kesehatan mental baik pelaku maupun korban.

Flexing: Antara Pencarian Validasi dan Masalah Self-Esteem

Fenomena flexing atau pamer kekayaan di media sosial pun menjadi tren yang semakin marak. 

Menurut Dicky C. Pelupessy, Ph.D., pakar psikologi sosial dari Universitas Indonesia, individu yang melakukan flexing cenderung memiliki masalah insecurity dan self-esteem yang rendah. 

Mereka berusaha mengompensasi perasaan tersebut dengan memamerkan harta benda untuk mendapatkan pengakuan dan pujian dari orang lain. 

Namun, perilaku ini dapat berdampak negatif, baik bagi pelaku maupun audiens.

Bagi pelaku, ketergantungan pada validasi eksternal dapat memperparah perasaan tidak aman dan rendah diri.

Sementara itu, bagi audiens, paparan terus-menerus terhadap konten flexing dapat menimbulkan perasaan iri, rendah diri, dan tekanan sosial untuk memenuhi standar yang tidak realistis. 

Curhat di Media Sosial: Mencari Dukungan atau Eksposur Berlebihan?

Curhat atau curahan hati di media sosial sering digunakan sebagai sarana untuk mencari dukungan emosional. 

Namun, perilaku ini juga memiliki risiko, seperti eksposur berlebihan terhadap masalah pribadi dan potensi penilaian negatif dari orang lain. 

Menurut beberapa penelitian, individu yang sering curhat di media sosial mungkin memiliki kebutuhan akan eksistensi dan validasi yang tinggi. 

Selain itu, curhat di ruang publik dapat menyebabkan penyebaran informasi pribadi yang tidak diinginkan dan meningkatkan risiko cyberbullying. 

Oleh karena itu, penting bagi individu untuk mempertimbangkan batasan antara privasi dan kebutuhan akan dukungan sosial.

Dampak Psikologis dan Sosial

Perilaku mencaci maki, flexing, dan curhat di media sosial dapat berdampak signifikan terhadap kesehatan mental dan dinamika sosial. 

Beberapa dampak yang mungkin timbul antara lain:

  • Peningkatan Stres dan Kecemasan: Paparan terhadap konten negatif atau kompetitif dapat meningkatkan perasaan stres dan kecemasan, baik bagi pelaku maupun audiens. 

  • Penurunan Self-Esteem: Membandingkan diri dengan orang lain di media sosial dapat menurunkan rasa percaya diri dan self-esteem. 

  • Isolasi Sosial: Meskipun media sosial dirancang untuk menghubungkan individu, perilaku negatif dapat menyebabkan perasaan terisolasi dan kurangnya koneksi sosial yang autentik.

Strategi Mengatasi dan Rekomendasi

Untuk meminimalkan dampak negatif dari perilaku tersebut, beberapa strategi yang dapat diterapkan antara lain:

  • Meningkatkan Kesadaran Diri: Individu perlu menyadari motivasi di balik perilaku mereka di media sosial dan dampaknya terhadap diri sendiri serta orang lain.

  • Mengembangkan Empati: Memahami perspektif orang lain dan dampak dari tindakan kita dapat membantu mengurangi perilaku negatif di media sosial.

  • Membatasi Penggunaan Media Sosial: Menetapkan batas waktu dan tujuan dalam menggunakan media sosial dapat membantu mengurangi dampak negatif terhadap kesehatan mental.

  • Mencari Dukungan Profesional: Jika merasa kesulitan mengatasi perasaan tidak aman atau rendah diri, berkonsultasilah dengan profesional kesehatan mental untuk mendapatkan bantuan yang tepat.

Dengan memahami aspek psikologis di balik fenomena mencaci maki, flexing, dan curhat di media sosial, diharapkan individu dapat lebih bijaksana dalam berinteraksi di dunia maya dan menjaga kesehatan mental serta kualitas hubungan sosial mereka.***

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun