"Coba tanya, bu, siapa tahu ada yang jual terong muda," kata Kusnad, guru sejarah yang tiba-tiba muncul dari balik kios buku sejarah Tembokto yang sepi pengunjung.
 "Pasti enak kalau sambelnya pakai terong muda, lebih segar," lanjutnya dengan semangat, meskipun tidak tahu pasti apakah terong muda itu sebenarnya lebih enak atau hanya tren sesaat.
Namun, usaha Bu Lurah untuk mendapatkan terong muda tidak kunjung berhasil.Â
Di setiap warung yang ia datangi, terong yang ada hanya yang sudah tua dan keras.Â
"Ini terong muda, Bu," kata pedagang sayur, sambil menyodorkan terong yang warnanya sudah agak kecokelatan.Â
"Itu mah terong sepuh, Bu, bukan terong muda!" jawab Bu Lurah sambil mengernyitkan dahi.Â
"Tapi ya udah deh, kalau nggak ada terong muda, ya terong tua juga nggak apa-apa. Yang penting sambalnya bisa jadi."
Rakyat Tembokto pun semakin terhibur dengan kejadian ini karena isu yang berkembang sudah makin digoreng sana goreng sini.
Padahal di warung nasi uduk Mpok Jumi, orang-orang sibuk membicarakan perjuangan Bu Lurah mencari terong muda.Â
"Mungkin Bu Lurah lagi mikirin sambel yang pas untuk rapat nanti," celetuk Mpok Jumi, sambil menggoyang-goyang sendok kayunya.
 "Yang penting kalau terong nggak ada, sambalnya tetap pedas, ya!"